Kontradiksi Rencana Pertamina Impor BBM saat Sibuk Bangun Kilang
Produksi minyak mentah Indonesia setiap tahun terus mengalami penurunan karena hanya mengandalkan lapangan tua. Kondisinya berbanding terbalik dengan konsumsi bahan bakar minyak atau BBM. Akibatnya, pemerintah terpaksa terus-menerus melakukan impor.
Guna menekan impor BBM, pemerintah mengupayakan agar megaproyek kilang minyak yang sedang dikerjakan Pertamina dapat segera rampung. Harapannya, proyek itu dapat menurunkan pembelian bahan bakar minyak dari luar negeri pada 2027.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati beberapa waktu lalu menyebut pembangunan kilang minyak sangat penting untuk direalisasikan. Namun, proyek ini berpotensi menaikkan angka impor minyak mentah. Realisasinya bergantung pada produksi minyak mentah di dalam negeri
Pertamina memproyeksi impor minyak mentah bakal naik hingga 900 ribu barel per hari (BPH) pada 2027. "Dengan asumsi tidak dijalankan proyek kilang, impor BBM yang banyak. Atau bangun (kilang) tapi impor crude-nya yang naik," kata Nicke.
Angka impor minyak mentah yang baik dinilai lebih baik dibanding Indonesia harus melakukan impor BBM. Saat ini impor minyak mentah Pertamina berada di level 300-350 ribu BPH, dan diperkirakan stabil hingga 2024. Impor akan mulai naik setelah proyek perbaikan dan peningkatan kapasitas Kilang Balikpapan tahap pertama rampung di 2024.
Sebagai informasi, volume impor minyak dan gas bumi (migas) Indonesia terus mengalami tren kenaikan seiring meningkatnya permintaan energi masyarakat. Pertumbuhan jumlah penduduk serta peningkatan jumlah kendaraan mendorong kenaikan kebutuhan migas domestik.
Sepanjang periode 2009 hingga 2019 volumenya naik 36,4% menjadi 49,1 juta ton atau rata-rata 3,6% per tahun. Impor gas mencatat kenaikan tertinggi, yakni lebih dari 471% menjadi 5,5 juta ton, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut ini.
Kebijakan konversi penggunaan minyak tanah ke gas menjadi pemicu lonjakan impor itu. Untuk impor minyak mentah periode 2009 sampai 2018 naik 10,64% menjadi 16,9 juta ton. Demikian pula impor hasil minyak/minyak olahan naik 35% menjadi 26,6 juta ton
Tingginya impor itu menyebabkan defisit neraca perdagangan migas nasional. Badan Pusat Statistik mencatat pada September 2019 meningkat 42% menjadi US$ 1,43 miliar dari bulan sebelumnya. Defisit ini merupakan yang ke 55 bulan secara beruntun.
Defisit neraca perdagangan migas periode Januari hingga September 2019 mencapai US$ 10,74 miliar atau setara Rp 150 triliun. Angkanya melonjak 62,74% dari periode yang sama tahun sebelumnya, bahkan melebihi defisit periode Januari sampai Desember 2018 yang mencapai US$ 8,57 miliar.
Impor BBM untuk Cadangan Nasional
Di tengah rencana besar itu, Pertamina sedang menjajaki kerja sama dengan Singapura untuk pembelian bahan bakar minyak. Direktur Logistik dan Infrastruktur Pertamina Mulyono mengatakan, kerja sama ini nantinya akan menitikberatkan pada penyimpanan stok BBM.
Pertamina tengah mengupayakan agar Singapura bersedia membangun depot minyak atau terminal bahan bakar minyak (TBBM) di Indonesia. Dengan tersimpan di Tanah Air, menurut dia, maka BBM itu dapat dijadikan sebagai cadangan nasional.
Perusahaan pelat merah itu akan membeli BBM dari Singapura dengan jangka waktu yang cukup panjang, misalnya sepuluh tahun. "Tetapi kami minta disimpannya di sini, bukan di Singapura. Kalau semua stok disimpan di Indonesia, secara tidak langsung itu akan menjadi stok nasional," ujar dia pada diskusi pelatihan JSK Petroleum Academy, akhir pekan lalu.
Mekanisme penitipan barang dan kontrak jangka panjang itu disebut supplier held stock atau SHS. Dengan mekanisme itu Pertamina berharap dapat menekan biaya distribusi serta belanja modal di awal proyek.
"Selama ini kami beli, misalnya beli elpiji (LPG), dari Amerika Serikat. Perjalannya kurang lebih satu bulan, ongkosnya kami tanggung. Tapi kalau SHS, kami tahu barangnya di Indonesia sehingga yang menanggung inventory stock adalah supplier (pemasok)," ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin menyebut pelaksanaan mekanisme itu bakal memberi dampak positif. Supplier nantinya bertanggung jawab atas penyimpanan stok BBM di dalam negeri dan dikeluarkan sesuai kebutuhan Pertamina.
Ia berpendapat pembangunan kilang minyak harus tetap berjalan. Proyek pembangunannya dapat memberi dampak berantai sangat besar ke dalam negeri. Tidak hanya mengurangi impor BBM tapi juga meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memanfaatkan tingkat komponen dalam negeri atau TKDN.
"Saya rasa Pertamina yang lebih mengerti antara kebutuhan ke depan dan rencana pembangunan kilang mereka. Harus ada balance karena dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia, penyerapan BBM semakin meningkat dari tahun ke tahun," kata dia.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan perlu adanya penjelasan yang komprehensif dalam melihat rencana itu. Terlebih, apakah hal itu murni aksi korporasi atau bagian dari upaya pemerintah mewujudkan ketahanan energi nasional.
Namun, ia mewanti-wanti agar implementasi dari rencana ini jangan sampai mematikan bisnis hilir BBM di dalam negeri. Upaya mewujudkan ketahanan energi tentu bagus. "Namun, akan lebih bagus jika disertai dengan mendahulukan upaya mewujudkan kemandirian energi nasional," kata dia.
Tak Pengaruhi Pembangunan Proyek Kilang
Pertamina saat ini fokus mengerjakan lima proyek kilang, yaitu satu Grass Root Refinery (GRR) di Tuban dan empat Refinery Development Master Plan (RDMP) di Balikpapan, Cilacap, Balongan, dan Dumai. Pembangunan kilang baru di Bontang batal dikerjakan karena tak memiliki mitra dan tak sesuai kebutuhan perusahaan.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menjelaskan rencana impor jangka panjang itu baru tahap evaluasi. Target waktu dan kapasitasnya akan menyesuaikan kesepakatan-kesepakatan dengan para supplier.
Ia membantah implementasi dari SHS bakal menganggu proses pembangunan kilang. "Tidak ganggu. Kami minta supplier yang bangun fasilitas, bukan Pertamina. Itu hanya storage penyimpanan saja," kata dia. Supplier held stock akan mendorong untuk para supplier memiliki fasilitas penyimpanan atau tanki di Indonesia.
Dalam waktu dekat Pertamina akan memulai proyek kerja sama untuk tempat penyimpanan elpiji di Tanjung Sekong. "Yang disampaikan Pak Mul sebenarnya adalah kilang elpiji di Tanjung Sekong (Banten). Ini sedang tahap evaluasi," ujarnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai kerja sama ini mirip dengan kontrak jangka panjang pembelian gas alam cair atau LNG. Dia berharap rencana ini dapat menambah stok cadangan BBM di dalam negeri.
Namun, Pertamina perlu mengkaji lagi rencana tersebut. Misalnya, berapa kapasitas yang akan dibeli dan disimpan nantinya. "Jangan sampai justru pembangunan RDMP dan GRR yang memakan biaya besar akhirnya tidak visibile untuk dilakukan," kata Mamit.
Sebelumnya, Nicke mengatakan impor produk BBM perseroan diproyeksi akan berangsur turun hingga ke kisaran 200 ribu barel per hari. Sepanjang 2019 volume impor BBM di dalam negeri tercatat mencapai 400 ribu barel per hari.
Selain itu, produksi minyak mentah dalam negeri terus menurun. Pertamina melalui anak usahanya menyatakan tetap fokus mengejar target operasi dan produksi migas.
Di sektor hulu, hingga Juli 2020 produksi minyak dan gas bumi Pertamina baik untuk aset domestik maupun internasional masih mencapai 98% atau 875 ribu barel setara minyak per hari (MBOEPD). Perinciannya, produksi minyak bumi sebesar 410 ribu barel minyak per hari MBOPD dan gas bumi sebesar 2.692 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).