Nasib Samar Peningkatan Produksi dari Teknik Pengurasan Minyak
Pemerintah pasang target tinggi untuk produksi minyak nasional. Angkanya di 1 juta barel per hari pada 2030, sementara realisasinya sekarang baru 700 ribu barel per hari. Harapan itu bertumpu pada teknik pengurasan minyak atau enhanced oil recovery alias EOR. Namun, implementasinya sampai saat ini masih minim.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan pelaksanaan EOR baru sebatas wacana saja tanpa tindakan nyata. “Selama ini hanya ngomong-ngomong saja. Kami ingin membuat satu program yang jelas,” katanya pekan lalu, Jumat (6/11).
Sejalan dengan keinginannya tersebut, ia juga melantik Guru Besar Teknik Perminyakan Institut Teknolog Bandung Tutuka Ariadji sebagai Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi. Tutuka telah melakukan berbagai penelitian mengenai EOR.
Melansir dari situs ITB, Tutuka tercatat pernah melakukan penelitian tersebut pada 2006, 2010, dan 2013. Dua tahun lalu, ia mempublikasikan riset berjudul CO2 EOR Pontentials in Indonesia: Towards The Second Life of National Oil Production.
Riset Tutuka soal teknik pengurasan minyak juga termuat di situs researchgate.net. Salah satunya berjudul A Comprehensive Preparation Study for Microbial Nutrient Injection of Microbial Enhanced Oil Recovery: Reservoir Screening and LaboratoryAnalysis – Case Study Bentayan Field pada 2017.
Katadata.co.id mencoba menghubungi Tutuka terkait rencana dan targetnya sebagai dirjen migas, khususnya dalam pelaksanaan EOR. Namun, ia tidak membalas pesan singkat dan telepon dari kami.
Dalam acara Energy Corner CNBCIndonesia pagi tadi, Deputi Perencanaan SKK Migas Jaffee Arizon Suardin mengatakan banyak lapangan minyak di Indonesia yang dapat dioptimalkan dengan teknik tersebut. Hal ini terbukti setelah Chevron berhasil melakukannya dengan menginjeksi bahan kimia ke sumur minyak di Lapangan Minas, Blok Rokan, Riau.
Dari hasil uji coba, masih ada potensi 600 ribu hingga 800 ribu barel minyak per hari dari lapangan itu. Harapannya, Pertamina dapat melanjutkan program ini setelah mengambil alih Blok Rokan pada awal Agustus 2021. “Semoga kami dapat meneruskanya,” kata Jaffee.
Selain itu, dari komitmen kerja pasti (KKP) Pertamina di Blok Rokan, sudah ada US$ 250 juta (sekitar Rp 3,5 triliun) yang khusus dialokasikan untuk program EOR. "Intinya, tinggal dijalankan di 2024," ucapnya.
EOR Blok Rokan Terganjal Formula Hak Paten
Namun, tak semudah itu Pertamina menjalankan teknik pengurasan minyak di Blok Rokan. Data kajiannya pun belum perusahaan pelat merah itu terima. Permintaan data itu terganjal oleh formula atau komponen kimia Chevron yang tak masuk dalam cost recovery.
Padahal, perusahaan yang menggunakan skema kontrak cost recovery seharusnya membebankan semua biaya kepada pemerintah. Dengan begitu, seluruh barang atau jasa yang dibayar menjadi aset negara.
Jika formula tersebut tidak diberikan, Pertamina butuh waktu empat tahun lagi untuk melakukan kajian ulang. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sempat meminta dukungan Komisi VII DPR terkait alih kelola formula EOR tersebut dari Chevron.
Saat dikonfirmasi kembali mengenai hal ini, Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih menyebut salah satu komponen dalam formula EOR Blok Rokan tidak masuk dalam cost recovery. Chevron pun memegang hak paten formulanya sehingga tak bisa langsung diserahkan ke Pertamina pada saat alih kelola.
Apabila Pertamina menginginkannya, maka perlu pembahasan secara bisnis (business-to-business) antar kedua pihak. “Kalau Pertamina tidak mau, maka harus studi lagi dan itu butuh waktu,” ucap Susana.
Pembahasan permintaan formula tersebut masih berlangsung. “Finalnya nanti pada saat alih kelola,” katanya. Harapannya, proses transisi ini dapat berjalan mulus agar lapangan tua di Blok Rokan tidak mengalami penurunan produksi.
Pernyataan ini berbeda dengan pendapat Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pada akhir Januari lalu. Ketika itu, ia memastikan uji coba pengurasan minyak di Blok Rokan masuk dalam cost recovery yang dibayar negara. Dengan begitu, formulanya bakal menjadi milik Pertamina. "Tidak mengulang percobaan (uji coba). Kan sudah dibiayai," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan perusahaan seperti Chevron memiliki beragam hak paten teknologi. Itulahlah yang membuatnya berhasil menjadi perusahaan minyak kelas dunia.
Pemerintah tidak bisa memaksakan Chevron untuk memberikan teknologi mereka begitu saja. Pertamina yang justru perlu didorong untuk meningkatkan kapabilitas riset dan pengembangan teknologinya.
Penerapan teknologi EOR di Indonesia sejauh ini tak lancar lantaran tidak banyak KKKS memiliki teknologinya. Bahkan perusahaan migas yang merencanakan melakukan teknologi pengurasan minyak dalam rencana pengembangan atau PoD lapangannya masih minim.
Kondisi itu membuat banyak lapangan minyak terlanjur turun produksinya sebelum merencanakan program EOR. Biaya dan risiko implementasinya pun menjadi semakin tinggi dan tidak ekonomis.
Setiap lapangan pun memiliki karakter berbeda-beda. Tidak semuanya cocok memakai EOR. “Pelaksanaannya membutuhkan jangka waktu tahunan dan investasi tidak sedikit,” ucap Mosche.
Indonesia sebenarnya membutuhkan teknologi yang lebih baru, tanpa bahan kimia, serta tidak membutuhkan bahan baku banyak. Teknologinya bernama organic oil recovery aias OOR yang ramah lingkungan. “Sudah ada di Indonesia, tinggal implementasinya saja,” katanya.
Biaya dan Risiko Tinggi, Kontraktor Enggan Terapkan EOR
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat sulitnya melaksanakan teknologi pengurasan minyak di Indonesia karena faktor biaya yang cukup besar. Sejauh ini metode EOR dengan menggunakan surfaktan masih belum ekonomis bagi kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS. “Di sisi lain, belum ada jaminan teknik ini akan meningkatkan produksi maksimal," ujarnya.
Untuk menghindari kerugian, pemerintah berencana menerapkan sistem kontrak no cure, no pay. Kontraktor hanya dibayar jika mampu meningkatkan produksi minyak dari sumur-sumur tua. Apabila gagal, kontraktor tidak akan dibayar.
Tapi tetap saja hal tersebut masih menjadi perdebatan di antara KKKS. Ada kekhawatiran sumur mereka bakal menjadi bahan percobaan dari vendor EOR.
Vendor pun saat ini merasa konsep EOR tidak bagus dari sisi bisnis lantaran untuk mengetahui hasilnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Sementara, biaya pelaksanaannya cukup besar. "Perlu ada terobosan dari vendor agar bisa lebih ekonomis dan menjadi win-win solution," kata dia.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan sebagian besar EOR memang masih pada tahapan proyek uji coba. Sudah ada beberapa KKKS yang mengimplementasikan, tapi skalanya masih terbatas sehingga dampak atau hasilnya belum signifikan.
Penerapan teknologi itu biasayanya untuk lapangan tua dan biaya produksi relatif tinggi. Akibatnya, meskipun secara teknis dapat diterapkan, namun kontraktor enggan memakainya kalau tidak masuk dalam hitungan bisnis. “Tidak ada satupun KKKS yang bersedia merugi,” ujarnya.
Pemerintah berjanji akan memberikan insentif bagi kontraktor migas yang menggunakan teknik EOR kimia. Namun, sampai sekarang belum terang benar wujudnya. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial beberapa waktu lalu hanya mengatakan EOR dapat berjalan kalau harga minyak sudah ekonomis.
Peningkatan produksi minyak menjadi penting saat ini untuk mengecilkan neraca minyak domestik. Indonesia mulai mengalami defisit sejak 2003 dan kian melebar setiap tahunnya seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Berdasarkan data British Petroleum (BP), produksi minyak Indonesia sebesar 1,18 juta barel per hari sementara konsumsi minyak mencapai 1,21 juta barel per hari. Alhasil, neraca minyak defisit 54 ribu barel per hari. Sejak saat itu, neraca minyak Indonesia selalu defisit dan semakin melebar hingga 2018 seiring meningkatnya konsumsi domestik serta penurunan produksi.
Pada 2018, defisit neraca minyak nasional meningkat 13,79% menjadi 977 ribu barel per hari dibandingkan tahun sebelumnya. Melebarnya defisit minyak tersebut dipicu oleh kenaikan konsumsi minyak sebesar 5,24% menjadi 1,79 juta barel per hari diikuti turunnya produksi sebesar 3,52% menjadi 808 ribu barel per hari.
Produksinya cenderung turun karena Indonesia mengandalkan lapangan-lapangan tua. Penemuan cadangan baru minim, sehingga cadangan pun semakin sedikit.