Beban Berat Bisnis Hulu Migas yang Tertekan Pandemi
Dunia saat ini mengalami kelebihan pasokan minyak. Pandemi Covid-19 telah membuat konsumsi melemah, harga minyak pun ikut terperosok.
Organisasi negara pengekspor minyak plus Rusia dan sekutunya alias OPEC+ telah sepakat menurunkan produksi sebesar 7,7 juta barel per hari sejak Juli lalu. Pemangkasan ini kemungkinan besar akan bertahan hingga tahun depan untuk menjaga harganya.
Penurunan harga minyak telah berimbas pula pada investasi di sektor hulu migas. Angkanya secara global terkoreksi 30% menjadi US$ 288 miliar hingga akhir tahun. Untuk investasi migas Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan penurunannya mencapai 20% dari prediksi US$ 13,8 miliar.
Direktur Riset Wood Mackenzie Andrew Harwood menyampaikan pemotongan belanja modal akan terus berlanjut hingga tahun depan. Bahkan nilainya mencapai US$ 500 miliar selama lima tahun ke depan. "2020 menjadi tahun yang dramatis bagi industri migas," katanya dalam Indonesia Oil & Gas Upstream Outlook Webinar, Kamis (19/11).
Pemerintah berharap harga minyak dapat bertahan di atas US$ 40 per barel supaya iklim investasi membaik. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial mengatakan potensi migas Indonesia masih banyak. Ada pula 68 cekungan potensial yang belum dieksplorasi. “Cadangan minyak mentah sekitar 3,8 miliar barel dan gas 77,29 triliun kaki kubik,” ujarnya.
Untuk menarik investasi, pemerintah melakukan penyederhanaan aturan melalui fleksibilitas kontrak. Kontraktor migas dapat memilih skema gross split atau cost recovery. Roadshow untuk lelang wilayah kerja migas tahun depan juga sudah berlangsung.
Untuk menarik investor, pemerintah juga menyediakan insentif fiskal dan non-fiskal, termasuk simplifikasi perizinan dan memperkuat data. Di saat yang sama, pemerintah juga menjaga level produksi melalui teknologi pengurasan minyak atau EOR. “Kami berharap regulasi ini akan meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi,” ujarnya.
Minyak Masih Berperan Peran Penting Hingga 2030
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan pada 2030 permintaan minyak akan terus meningkat hampir 50% dari saat ini. Namun gap antara produksi dan konsumsi semakin melebar. Impor akan terus terjadi dan neraca perdagangan semakin defisit.
Banyak tantangan untuk mencapai target, terutama produksi 1 juta barel per hari dalam satu dekade. Saat ini angknya baru di sekitar 700 ribu barel per hari. Untuk mencapainya, menurut Dwi, transformasi sangat penting. Semua pihak tak bisa lagi menjalankan bisnis seperti biasa. Kegiatan eksplorasi harus lebih agresif dan efisien. Sumur-sumur tua perlu memanfaatkan teknologi EOR untuk menjaga produksi.
Tantangan utama industri hulu migas saat ini adalah isu transisi energi dari fosil ke terbarukan. Permintaan minyak akan tertekan dengan kehadiran mobil listrik. "Karena itu, kami butuh kerja sama dari semua pemangku kepentingan," ujarnya.
SKK Migas optimistis target 1 juta barel per hari dapat tercapai. "Tahun depan akan menjadi the real battle dalam produksi migas untuk menghentikan penurunan. Itu semangat tahun depan," kata Dwi.
Menurut dia, jika pemerintah tak melakukan apa-apa, maka penurunan produksi secara besar-besaran akan terus terjadi. Fleksibilitas kontrak dan insentif berperan penting untuk mencegah hal itu terjadi. "Kami juga siapkan area dan reserve mana yang bisa ditingkatkan dengan EOR," kata dia.
Tambahan Split Bukan Prioritas
Kementerian ESDM saat ini juga menghadapi banyak permintaan kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS, termasuk Pertamina, yang meminta tambahan bagi hasil atau split produksi migas. Langkah ini kontraktor tempuh untuk menjaga keuangannya yang tertekan pandemi Covid-19.
Ego mengatakan pemerintah mendorong KKKS untuk memanfaatkan insentif dulu, sebelum mengajukan penambahan split. Pemerintah dalam posisi terbuka dan siap melakukan diskusi. Bahkan semua pengajuan penambahan tersebut masih dalam dalam kajian. “Kami berharap timbul win-win solution sehingga aktivitas hulu tetap berjalan,” katanya.
Direktur Perencanaan Strategi dan Pengembangan Bisnis Subholding Hulu Pertamina John H Simamora mengatakan kontribusi Pertamina untuk produksi minyak nasional saat ini berkisar 42% hingga 44%, lalu untuk gas sebesar 43%.
Tahun depan, kontribusi minyak perusahaan bakal mencapai 70% karena Pertamina akan mengambil alih hak kelola Blok Rokan dari Chevron. Namun, perusahaan saat ini mengalami tantangan besar, terutama permintaan gas yang terus turun selama pandemi. Penurunannya mencapai 150 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) yang mayoritas dialokasikan untuk PLN dan industri.
Lalu, Pertamina juga harus mempertahankan 60% sumurnya yang sudah tua, terutama dari Pertamina EP, Pertamina Hulu Mahakam, dan Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (ONWJ), dan Pertamina Offshore Southeast Sumatera (OSES). “Kami berjibaku dengan declining rate 20% untuk migas. Ini sangat berat,” ujar John.
Karena itu, dia berharap dukungan dari pemerintah terkait pemberian insentif. Perusahaan optimistis dapat melalui kondisi sulit ini dengan lancar. "Kami sedang menunggu pemerintah untuk insentif di Mahakam," katanya.