Aspek Lingkungan Masih Jadi Masalah Pada Penambangan Nikel
Berbagai upaya untuk menarik investasi masuk ke Indonesia terus pemerintah lakukan. Mulai dari penyederhanaan izin hingga penerbitan Undang-Undang Cipta Kerja.
Namun, sebenarnya yang tak kalah penting adalah aspek lingkungan. Investor saat ini sangat memperhatikan hal itu dalam portofolionya. Pasalnya, dunia sedang bertransisi menuju energi bersih. Negara-negara maju juga sudah memasang target pemangkasan emisi karbonnya, seperti Uni Eropa, Inggris, Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok.
Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal BKPM Nurul Ichwan mengatakan Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Tapi penggunaan teknologinya yang tak ramah lingkungan dapat membuat investor tak tertarik menanamkan uangnya di sini. “Kami berusaha menarik investasi yang memperhatikan proteksi lingkungan dari sisi teknologinya,” ujarnya.
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total produksi nikel di dunia pada tahun lalu berada di angka 2,6 juta ton. Secara global, Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia dan menghasilkan 800 ribu ton.
Di posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Filipina dan Rusia dengan produksi masing-masing 420 ribu ton dan 270 ribu ton. Lalu, nomor empat adalah New Caledonia sebesar 220 ribu ton dan negara lainnya mencapai 958 ribu ton.
Dampak lingkungan yang timbul dari proses kegiatan tambang nikel masih menjadi persoalan. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba) Irwandy Arif mengatakan isu limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang dihasilkan dari slag (limbah) nikel hingga kini belum tuntas.
Koordinasi dengan pihak terkait telah pemerintah lakukan. Namun, sampai sekarang belum ada solusinya. “Salah satu penentu keberhasilannya adalah bagaimana membuang limbah dari proses HPAL (high pressure acid leaching) ke laut. Ini belum tuntas,” kata Irwandy dalam acara Indonesia Mining Outlook 2021, Selasa (15/12).
Pemerintah Genjot Hilirisasi Minerba
Pemerintah sedang menggenjot hilirisasi minerba. Hal ini bertujuan agar komoditas tambang mempunyai nilai tambah dan dapat mendongkrak penerimaan negara.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan target pembangunan pabrik pemurnian atau smelter yang dapat dibangun untuk mendukung hilrisasi hingga tahun 2024 sebanyak 53 unit. Total investasinya mencapai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 284 triliun.
Untuk batu bara, karena produknya dominan berkalori rendah, maka hilirisasi menjadi upaya untuk meningkatkan nilainya. “Kami mendorong perusahaan batu bara melakukan transformasi dari menjual bahan mentah untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) menjadi menjual produk untuk industri,” ucap Arifin.
Proyek hilirisasi batu bara rencananya bakal menghasilkan dimethyl ether atau DME untuk menggantikan liquefied petroleum gas alias LPG. Dampak akhirnya, impor bahan bakar untuk memasak tersebut dapat berkurang.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menyampaikan kebutuhan LPG atau elpiji domestik saat ini 70% masih impor. "Konsumsinya perlu disubtitusi untuk mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan dan meningkatkan ketahanan energi nasional," kata dia pada 7 Desember lalu.
Dengan penggunaan DME, impor elpiji berkurang hingga 1 juta ton per tahun. Cadangan devisa dapat hemat hingga Rp 9,7 triliun per tahun dan neraca perdagangan Rp 5,5 triliun per tahun.