Kementerian ESDM Pantau 8 Perusahaan Tak Patuhi Harga Patokan Nikel
Ternyata masih ada delapan perusahaan yang tidak menerapkan harga patokan mineral atau HPM jual-beli bijih nikel. Pemerintah akan menegur penambang dan pemilik pabrik pemurnian (smelter) tersebut. Bahkan sanksi pencabutan menanti kalau aturan itu tak kunjung mereka laksanakan.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak mengatakan, sebanyak 73 perusahaan telah menerima surat teguran dari pemerintah beberapa waktu lalu. Ada 65 perusahaan yang langsung melaksanakan HPM.
“Saya optimistis lambat laun penerapannya akan berjalan maksimal,” katanya dalam acara Indonesia Mining Outlook 2021, Rabu (16/12).
Pelaksanaan HPM bertujuan untuk memberikan keadilan bagi pengusaha tambang dan pemilik pabrik pemurnian (smelter). “Ada beberapa perusahaan smelter yang sudah terlalu lama menikmati harga nikel murah,” ucap Yunus.
Harga nikel formula pemerintah cenderung lebih murah dibandingkan untuk ekspor. Tujuannya, agar perusahaan smelter domestik dapat memperoleh bahan baku dengan harga kompetitif.
Risiko dan biaya investasi smelter jauh lebih besar dibandingkan dengam perusahaan pertambangan nikel. Kondisi itu pula yang membuat pemerintah memberikan insentif, berupa penetapan harga HPM yang relatif lebih kecil dibandingkan pasar internasional.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy K Lengkey mengatakan kebijakan HPM telah diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2020 tentang tata cara penetapan harga patokan penjualan mineral logam dan batu bara. Para pengusaha smelter pun sudah mematuhi aturan tersebut.
Namun, persoalan lainnya adalah biaya angkutan dan asuransi atau cost insurance and freight (CIF) yang masih berlaku. Pihak smelter hanya membayar biaya tongkang US$ 3 per metrik ton.
Dampaknya, penambang di Maluku, Maluku Utara, Papua, Kolaka Utara (Sulawesi Tenggara), dan Malili (Sulawesi Selatan) harus mensubsidi biaya tongkang US$ 5 sampai US$ 8 metrik ton. Yunus berpendapat perlu diskusi lebih lanjut soal ini antara pemerintah dan pelaku usaha guna mencari solusinya.
Jumlah Smelter Nikel RI
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin memberikan peringatan pertama bagi penambang maupun smelter nikel yang masih mengabaikan ketentuan HPM.
"Para pelaku usaha yang tidak memenuhi sesuai surat peringatan tersebut akan diberikan surat pencabutan izin pelaku usaha," kata Yunus Saefulhak kepada Katadata.co.id, Oktober lalu.
Ia menjelaskan ada beberapa alasan mengapa pembeli bijih nikel masih mengabaikan aturan HPM. Salah satunya, pasokan bijih nikel yang ada di Indonesia melimpah tapi pabrik smelter jumlahnya masih sangat terbatas. Hal tersebut menyebabkan ketimpangan permintaan dan pasokan yang tinggi.
Sampai 2018, pabrik pemurnian nikel di Indonesia berjumlah 17 unit. Angkanya paling tinggi ketimbang smelter mineral tambang lainnya, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini.
Untuk pasokan, Indonesia merupakan negara dengan cadangan bijih nikel terbesar di dunia. Sekitar 32,7% cadangan nikel dunia ada di Tanah Air. Demi menjaga ketahanan cadangan mineral, pemerintah melarang ekspor bijih nikel mulai Januari 2020.
Transaksi antara penambang dan smelter nikel yang masih di bawah HPM rata-rata untuk kadar 1,8% free on board (FoB) sebesar US$ 23 - 28 per wet metric ton atau WMT. Padahal, menurut Yunus, harga seharusnya US$ 30 - 38 per WMT.
Untuk mengatasi masalah harga ini, pemerintah pusat telah melakukan sosialisasi HPM bersama pemerintah daerah. Koordinasinya melibatkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.
Para pelaku usaha juga terlibat di dalamnya, seperti dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), dan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI).