Bisnis Jual-Beli LNG Pertamina dalam Bidikan Ahok

Image title
13 Januari 2021, 16:33
ahok, basuki tjahaja purnama, lng, gas alam cair, mozambik, anadarko, pertamina, chenerie
123rf
Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyorot kebijakan impor LNG Pertamina.
  • Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melaporkan impor LNG Pertamina ke Kementerian BUMN.
  • Pembelian LNG dari luar negeri tak sekadar mengamankan pasokan, tapi portofolio bisnis perusahaan.
  • Masalah muncul karena serapan dalam negeri tak maksimal dan pasokan LNG berlimpah. 

Keinginan Pertamina membeli gas alam cair atau LNG dari Mozambik berbuntut evaluasi dari dewan komisaris. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menjabat komisaris utama perusahaan pelat merah ini sedang menyorot kebijakan tersebut.

Bahkan mantan Gubernur DKI Jakarta itu telah melaporkannya ke Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada pekan lalu. Dewan komisaris pun telah memberi arahan dan pandangan kepada direksi Pertamina.

Namun, Ahok enggan membeberkan hasil evaluasi tersebut. "Tanya ke direksi. Karena pembelian LNG dalam kontrak jangka panjang tidak melalui persetujuan dewan komisaris," kata Ahok kepada Katadata.co.id, Jumat (13/1).

Para direksi, menurut dia, sedang berdiskusi terkait masalah tersebut. “Sejak Februari (2020), dewan komisaris sudah mempersoalkannya dan meminta direksi menyelesaikan masalah ini dengan baik,” ucapnya. 

Saat dikonfirmasi mengenai hal ini. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati tak merespon pesan yang dikirimkan Katadata.co.id. Begitu juga dengan SVP Corporate Communication & Investor Relation PT Pertamina (Persero), Agus Supriyanto.

Masalah ini bermula ketika Pertamina menandatangani perjanjian jual beli atau SPA LNG dengan Anadarko Petroleum Corportaion pada Februari 2019. Ketika itu, Ahok belum menjabat sebagai komisaris utama.

Di dalam perjanjian tersebut, Pertamina berkomitmen mengimpor 1 juta metrik ton per tahun (MTPA) dari Mozambique LNG1 Company Pte Ltd selama 20 tahun. Anak usaha Anadarko ini memiliki lapangan gas raksasa di lepas pantai Blok Mozambique Area 1. 

Pertamina beralasan membeli gas tersebut untuk kebutuhan domestik. Termasuk di dalamnya bahan bakar pembangkit listrik dan proyek pengembangan atau RDMP Kilang Cilacap. Selain itu, perusahaan membeli LNG dari negara di sebelah selatan Afrika ini karena harganya yang murah.

Namun, proyeksi Pertamina meleset. Pasokan LNG dalam negeri saat ini justru berlebih. Pandemi Covid-19 juga membuat harga komoditas ini anjlok cukup signifikan.

Nusantara Regas Terima LNG Perdana Blok Mahakam
Ilustrasi terminal LNG. (Arief Kamaludin|KATADATA)

Impor LNG Pertamina Kena Audit

Hampir dua tahun berlalu pembelian gas itu tak kunjung tereksekusi. Berembus kabar Pertamina terancam menghadapi gugatan dari perusahaan asal Amerika Serikat tersebut. Anadarko dikabarkan menagih komitmen dan menuntut kerugian kalau perjanjian jual-beli LNG tersebut dibatalkan.

Namun, berdasarkan sumber Katadata.co.id, sebenarnya ancaman itu datang dari Kementerian Sumber Daya Mineral dan Energi Mozambik. Pada akhir 2019, kementerian ini mengirimkan surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia. “Mereka melaporkan Pertamina yang tidak melanjutkan pembelian LNG tersebut,” kata sumber itu.

Apabila tidak kunjung dieksekusi, tuntutan kerugiannya dapat mencapai US$ 2,8 miliar atau hampir Rp 40 triliun. Dewan komisaris Pertamina di bawah pimpinan Ahok lalu mengetahui hal tersebut dan langsung meminta adanya evaluasi.

Audit internal pun Pertamina sedang lakukan dengan menunjuk Pricewaterhouse Cooper. Tak hanya LNG Mozambik yang kena sorot, pembelian gas alam cari dengan Cheniere Corpus Christi di Amerika Serikat pun ikut terseret. 

Perjanjian jual-beli LNG tersebut terjadi pada 2013. Pembeliannya sebanyak 760 ribu metrik ton per tahun untuk jangka waktu 20 tahun.

Mantan Direktur Pemasaran Korporat Pertamina Basuki Trikora Putra pada 2019, melansir dari Bisnis.com, sempat menyebut perusahaan menjual gas alam cair Cheniere di pasar internasional. Penyerapan domestik baru akan terjadi ketika proyek pembangkit dan sektor lainnya yang membutuhkan gas selesai dibangun. 

Pengiriman LNG tersebut pada 2019 telah terjual seluruhnya. Basuki mengatakan penjualannya dilakukan di pasar spot melalui PPT Energy Trading Co Ltd. 

Pertamina sebenarnya memiliki perjanjian pembelian LNG lainnya. Pertama, kontrak dengan perusahaan asal Australia, Woodside, dengan volume 600 ribu metrik ton per tahun dan mulai dikirim pada 2022 hingga 2023. Volumenya dapat meningkat menjadi 1,1 juta metrik ton per tahun pada 2024 sampai 2038. 

Ada lagi kesepakatan awal dengan ExxonMobil pada April 2017. Pertamina akan membeli LNG dari perusahaan asal AS itu sebesar 1 juta metrik ton per tahun selama 20 tahun mulai 2025. 

Langkah pembelian LNG dari luar negeri itu sebenarnya tak sekadar melakukan impor dan mengamankan pasokan domestik. Ada pula upaya diversifikasi portofolio bisnis LNG Pertamina. “Seperti model bisnis Total, BP, dan Shell,” ucap sumber tersebut. 

Nusantara Regas Terima LNG Perdana Blok Mahakam
Ilustrasi terminal LNG. (Arief Kamaludin|KATADATA)

Jual-Beli LNG Proses Bisnis Wajar?

Mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) Fahmi Radi menilai apapun tujuannya impor LNG oleh Pertamina tidak tepat. Pasalnya, produksi gas dalam negeri melimpah dan murah. Impor tersebut hanya akan memperbesar defisit neraca dagang.

Bisnis portofolio semacam itu sebenarnya wajar bagi perusahaan migas swasta dan asing, tapi  tidak bagi BUMN migas tersebut yang harus mendahulukan kepentingan negara. "Memang rumit, Pertamina tidak bisa semata profit, tapi juga kepentingan negara," ujarnya.

Potensi campur tangan mafia migas dalam sengkarut bisnis LNG diduga cukup besar. Apalagi setiap keputusan impor migas dalam jumlah besar dengan kontrak jangka panjang.

Fahmi sependapat dengan Ahok untuk mengevaluasi bisnis LNG Pertamina. “Apalagi dia punya tugas khusus untuk membasmi mafia migas. Evaluasi yang dilakukan Ahok barangkali juga dalam rangka menjalankan tugas tersebut," katanya.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai kontrak pembelian LNG yang dilakukan Pertamina dengan perusahaan lain merupakan hal yang biasa dilakukan untuk diversifikasi portofolio. Perusahaan dapat melakukannya dengan catatan pembelian gas tersebut tidak merugikan. 

Dalam proses pembeliannya, ia meyakini Pertamina telah berhitung dengan cermat. Terutama untuk dijual kembali ke pasar spot. "Harga memang volatil, tapi mereka sudah membuat benchmark sehingga yakin tidak akan merugikan," kata dia.

Namun, persoalannya menjadi berbeda ketika produksi LNG domestik mulai melimpah, tapi serapan lokal masih belum maksimal. Bahkan kargo lokal di dalam negeri saja masih belum laku semua dan harus dijual di pasar spot. 

Kondisinya semakin runyam ketika pandemi muncul dan mengubah proyeksi akan konsumsi energi di Indonesia. "Jadi, pastinya yang disorot adalah perhitungan yang salah dalam membaca pasar dan proyeksi permintaan," Mamit.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal Husin pun berpendapat praktik trading (perdagangan) LNG adalah hal yang wajar. "Supplier maupun buyer hampir selalu membutuhkan perusahaan trading sebagai perantara yang membantu bisnis mereka," ujarnya.

LNG-Train,-ORF-&-utility-area.jpg
Ilustrasi fasilitas LNG. (KATADATA/)

Produksi dan Konsumsi LNG Tak Kunjung Seimbang

Kebijakan melakukan impor LNG di tengah pasokan dalam negeri yang berlebih sebenarnya bukan semata kesalahan Pertamina. Pasalnya, berdasarkan Neraca Gas Bumi Indonesia Tahun 2016-2035, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi Indonesia akan mulai mengimpor gas pada 2019.  

Total pasokan gas dari dalam negeri saat itu diprediksi hanya sebesar 7.651 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Untuk permintaan gasnya mencapai 9.323 juta standar kaki kubik per hari. Jadi, ada defisit yang harus ditutup dengan impor.

Pada 2017, Kementerian ESDM kembali menyusun ulang neraca gas Indonesia. Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar kala itu mengatakan penyusunan dilakukan supaya lebih akurat dan terpercaya. “Sehingga ke depan kami bisa memprediksi apakah perlu mengimpor LNG atau tidak," kata dia.

Ketika itu, masih produksi LNG Tanah Air mulai banyak dan belum terserap. Bahkan SKK Migas memprediksi hingga akhir 2017, yang terserap hanya 47,03 kargo. Padahal, realisasi produksinya 61,90 kargo.

Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Tata Kelola Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nanang Untung belum lama ini mengakui produksi LNG nasional saat ini tak seimbang dengan penyerapannya. Hal ini membuat produksinya berlebih, bahkan sebelum target 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030 terealisasi. 

Sejak 1977, produksi gas alam menunjukkan tren kenaikan seiring meningkatnya eksplorasi ladang migas, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini. Kenaikannya seiring pula dengan konsumsinya. 

Sebagian besar gas tersebut masih untuk impor. Kebutuhan domestik terbesar untuk sektor industri. Urutan di bawahnya adalah tenaga penggerak dan pabrik pupuk.

Untuk menjual LNG di pasar spot, pemerintah menemui kendala. Harganya lebih rendah ketimbang menjual untuk domestik. Di dalam negeri, kisaran harga gas adalah US$ 6 per juta British Thermal Unit (MMBTU). “Jadi, banyak tantangan untuk pasarkan gas ini,” kata Nanang.

Pemerintah bersama SKK Migas sedang menggenjot kemampuan dalam negeri menyerap potensi gas. Tak terkecuali pembangunan infrastrukturnya, seperti pipa gas dan terminal LNG, hingga revitalisasi program konversi ke BBG.

Pengapalan Kargo LNG ke 1000 BP
Ilustrasi pengapalan kargo LNG. (twitter/@BP_Indonesia)

Hubungan Bisnis Pertamina dengan Anadarko

Sebelum adanya perjanjian jual-beli LNG, Pertamina dan Anadarko telah menjalin hubungan bisnis. Pada 2012, Pertamina Hulu Energi mengakuisisi tiga anak usaha Anadarko Petroleum Corporation. 

Akuisisi itu tertuang dalam kesepakatan definitif dengan Anadarko Offshore Holding Company LLC. Pertamina membeli 100% saham Anadarko Ambalat Limited, Anadarko Bukat Limited, dan Anadarko Indonesia Nunukan Company.

Ketiganya merupakan anak usaha Andarko yang menguasai 33,75% hak partisipasi Blok Amabalat, 33,75% Blok Bukat, dan 35% Blok Nunukan. Pertamina membelinya untuk meningkatkan teknologi operasi laut dalam dan membuka akses eksplorasi di dekat wilayah operasi perusahaan di Bunyu dan Tarakan, Kalimantan Utara.

Lalu, pada pertengahan 2020, Pertamina pun dikabarkan sedang melakukan diskusi dengan Occidental Petroleum Corp. Rencananya, perusahaan akan mengakuisisi sejumlah aset migas di Afrika dan Timur Tengah.Pembicaraan kedua belah pihak masih berlangsung. 

Nilai aset yang bakal Pertamina beli diperkirakan mencapai US$ 4,5 miliar atau sekitar Rp 63 triliun. Lokasinya berada di Ghana dan Uni Emirat Arab. Sumber Bloomberg menyebut kesepakatan ini akan mengurangi tumpukan utang Occidental untuk membeli Anadarko Petroleum Corp senilai US$ 37 miliar pada 2019. 

Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...