Bangun Terminal, Upaya Pertamina Salurkan Elpiji ke Indonesia Timur
- Beberapa wilayah di Indonesia Timur selama ini belum mendapatkan akses elpiji bersubsidi tiga kilogram.
- Persoalan timpangnya harga elpiji, khususnya yang bersubsidi, terus terjadi di kawasan itu.
- Empat terminal elpiji yang akan selesai dibangun Pertamina tahun ini targetnya dapat menyelesaikan persoalan tersebut.
Pembangunan empat terminal liquefied petroleum gas (LPG) alias elpiji di kawasan Indonesia Timur akan selesai pada tahun ini. Kehadiran terminal tersebut harapannya akan memaksimalkan penyaluran elpiji bersubsidi.
Selama ini, Pertamina belum menyediakan agen stasiun pengisian bulk elpiji (SPBE) bersubsidi di kawasan tersebut. “Kami akan membangun empat terminal elpiji dan selesai tahun ini,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR kemarin.
Kepala Unit Komunikasi dan Pengelolaan Pengetahuan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Ruddy Gobel mengatakan beberapa wilayah di Indonesia Timur belum mendapat program konversi elpiji. Akibatnya, pemerintah masih menyediakan minyak tanah bersubsidi. “Sebagian di wilayah Papua dan Maluku,” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (10/2).
Program subsidi elpiji tiga kilogram pun masih banyak yang tidak tepat sasaran. Pemerintah telah menyiapkan formula distribusi yang baru. Salah satunya dengan mengubah dari subsidi barang menjadi langsung ke rumah tangga.
Artinya, elpiji bersubsidi dijual pada harga keekonomian, sama seperti elpiji non-subsidi. "Tapi masyarakat miskin dan rentan yang berhak mendapatkan bantuan non-tunai untuk membeli LPG," ucapnya.
Uji coba penerapan subsidi langsung itu sudah selesai sebelum pandemi corona datang. Desain kebijakannya pun telah rampung. Saat ini hanya tinggal menunggu waktu implementasinya. “Pemerintah masih fokus pada penanganan Covid-19 yang jauh lebih penting,” kata Ruddy.
Sebagai informasi, angka subsidi elpiji dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Produk mayoritas impor ini sayangnya banyak yang tidak tepat sasaran. Wilayah di timur Indonesia pun belum semua mendapatkannya.
Berikut Databoks nilai subsidi energi pada 2017 sampai 2019. Elpiji berada di posisi tertinggi.
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga (Commercial & Trading) Mas'ud Khamid menyebut saat ini memang belum ada regulasi yang jelas terkait kriteria konsumen dan besaran yang diterima untuk subsidi elpiji tiga kilogram.
Untuk daerah terpencil, Pertamina memasok 'tabung melon' itu menggunakan kapal dengan kapasitas 300 hingga seribu metrik ton melalui perairan dangkal. Guna menjamin ketersediaan, perusahaan membuat program one village one outlet (OVOO). Jadi, setiap desa memiliki satu outlet elpiji.
Secara nasional, dari titik layanan yang mencapai 66.789 desa, yang sudah memiliki outlet baru 57.828 desa. Pertamina belum menyiapkan agen dan SPBE bersubsidi di wilayah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Papua.
Karena itu, perusahaan sedang menyiapkan agen SPBE di sana. “Kami sudah memetakan lokasi mana yang harus ada penambahan agen untuk menyokong saat empat terminal elpiji selesai (dibangun),” kata Mas’ud.
Untuk menjamin kelancaran distribusi, Pertamina juga melakukan pengawasan penyaluran yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ada pula pengawasan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memastikan besaran subidisi dilakukan secara akuntabel.
Timpang Harga Elpiji di Barat dan Timur Indonesia
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira berpendapat penugasan bahan bakar minyak (BBM) satu harga dengan elpiji bersubsidi tidak seimbang. Pemerintah dan Pertamina hanya fokus pada program yang pertama saja. “Mereka lupa kalau elpiji sama pentingnya dengan BBM,” katanya.
Padahal, Indonesia Timur juga menghadapi persoalan timpangnya harga elpiji, khususnya yang bersubsidi. "Selain barangnya lebih sedikit, harganya pun mahal," ucap Bhima.
Pemerintah seharusnya tidak lagi berfokus pada BBM satu harga di Indonesia Timur. Yang dibutuhkan rumah tangga tidak mampu adalah elpiji tiga kilogram bersubsidi.
Di saat pandemi, pemerintah perlu gencar menggenjot alokasi elpiji bersubsidi di wilayah tersebut. Ia khawatir biaya hidup, termasuk makan dan minum, akan terus membengkak.
Dampaknya, kesenjangan berpotensi terus melebar antara timur dengan barat Indonesia. “Ini salah satu yang membuat pengeluaran rumah tangga mereka relatif tinggi karena biaya gasnya tidak sama dengan harga di Pulau Jawa,” ujar Bhima.
Persoalan elpiji di Pulau Jawa adalah pengawasannya yang longgar. Siapa saja dapat membeli bahan bakar bersubsidi itu, termasuk orang yang masuk dalam kategori mampu.
Sedangkan di wilayah timur Indonesia, banyak masyarakat tidak mampu tak mendapat akses elpiji bersubsidi. Kondisi ini menjadi bentuk ketidakadilan dan ketimpangan yang terus terjadi. “Kalau anggarannya terbatas, berarti harus pintar-pintar memperketat pengawasan di Pulau Jawa sambil mendorong penyaluran di Indonesia Timur,” ucapnya.
Publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai kesehatan lingkungan mencatat meski 51 persen warga telah beralih ke elpiji tiga kilogram, namun masih terdapat 41,45% rumah tangga di desa yang menggunakan kayu bakar.
Penggunaan kayu bakar di desa tergolong besar apabila dibandingkan di perkotaan pada 2015. Padahal, program konversi dari minyak tanah ke elpiji telah berlangsung sejak 2007.
Dengan adanya terminal elpiji di kawasan Indonesia timur, distribusi akan lebih mudah dan murah. Ongkosnya, sebelum adanya program BBM satu harga, sangat mahal dan menjadi beban masyarakat. “Jadi, upaya pemerintah menyalurkan elpiji bersubsidi tidak sia-sia. Cuma memang ada yang tidak tepat sasaran,” kata Direktur Riset Center Of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah.
Namun, Pertamina juga harus menggenjot infrastruktur distribusi gas bumi. Dengan stok yang melimpah sekarang, seharusnya gas tersebut dapat dioptimalkan untuk kepentingan rakyat.
Terminal Elpiji Butuh Investasi Rp 1,2 Triliun
Berdasarkan catatan Katadata.co.id, untuk mendukung konversi minyak tanah ke elpiji, Pertamina Berencana membangun empat terminal elpiji untuk wilayah Indonesia Timur. Lokasinya berada di Kupang (NTT), Bima (NTB), Ambon (Maluku), dan Jayapura (Papua). Biaya pembangunannya mencapai lebih dari Rp 1,2 triliun.
Direktur Logistik Supply Chain dan Infrastruktur Pertamina ketika itu, Gandhi Sriwidodo, mengatakan infrastruktur hilir akan memperkuat distribusi elpiji di wilayah Timur Indonesia. “Sekaligus mendukung program Pemerintah, agar masyarakat mulai beralih dari minyak tanah ke elpiji,” kata dia pada 1 April 2019.
Terminal elpiji Kupang akan dibangun dengan kapasitas tangki dua kali 500 metrik ton. Terminal di Bima kapasitasnya satu kali seribu metrik ton. Lalu, di Ambon akan dibangun dengan kapasitas tangki dua kali seribu metrik ton. Terakhir, terminal elpiji Jayapura akan dibangun dengan kapasitas tangki dua kali seribu metrik ton.
Pertamina juga akan mengevaluasi kebutuhan terminal dan kapasitas tangki. "Jika memang perlu penambahan, kami akan lakukan sesuai laju konsumsi elpiji masyarakat dan pertumbuhan penduduk di sana” ujarnya.