Bos MIND ID Usul Relaksasi Royalti untuk Nikel, Seperti Batu Bara
Komoditas nikel proyeksinya akan cerah. Direktur Utama indonesia Asahan Aluminium (Inalum) atau MIND ID Orias Petrus Moedak menyebut barang tambang yang dulu kurang diminati itu, kini menjadi primadona.
Perubahan tersebut terjadi karena pemerintah sedang menggenjot industri kendaraan listrik. Nikel menjadi komoditas penting karena perannya sebagai bahan baku pembuatan baterai listrik.
Orias berharap kondisi tersebut dapat membuka peluang relaksasi royalti untuk nikel, seperti yang terjadi pada batu bara. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja, pemerintah memberikan royalti 0% bagi produsen batu bara yang mau melakukan hilirisasi.
“Apakah ini dapat berlaku juga ke nikel kadar rendah?” kata Orias dalam Webinar Sosialisasi Kebijakan Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kamis (11/2).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2019 penerimaan royalti untuk nikel terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, bijih nikel. Lalu, produk nikel hasil pemurnian. Terakhir, windfall profit ketika harga nikel matte di atas US$ 21 ribu per ton. Kisaran royaltinya antara 2% (untuk produk pemurnian) sampai 10% (untuk produk bijih nikel).
Dalam kesempatan itu ia juga menyinggung soal kepastian usaha terkait pengembalian biaya investasi. Hal ini terutama yang menyangkut penugasan untuk meneliti suatu wilayah kerja pertambangan.
Contohnya, ketika badan usaha milik negara atau BUMN mendapat tugas meneliti dan menyimpan data untuk persiapan wilayah kerja. “Apabila bukan kami yang melanjutkan (proyeknya), tentu perlu ada pengembalian investasi yang wajar,” ucap Orias.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Minerba Irwandy Arif mengakui sejauh ini belum ada prioritas relaksasi royalti nikel. "Saya kira ini kritik yang baik untuk melangkah ke depan," ucapnya.
Sebagai informasi, rencana Indonesia menjadi produsen utama baterai listrik di Asia Tenggara sudah di depan mata. MIND ID bersama PT Pertamina (Persero), dan PT PLN (Persero) akan membentuk perusahaan induk bisnis baterai di Indonesia bernama Indonesia Battery Corporation atau IBC.
Pembentukan konsorsiumnya masih digodok. Dua mitra asing telah menyatakan komitmennya untuk bergabung, yaitu Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL) asal Tiongkok dan LG Chem Ltd asal Korea. Selain itu, ada juga pabrikan mobil listrik yakni Tesla yang dikabarkan tertarik untuk berinvestasi pada produk sistem penyimpanan energi atau energy storage system (ESS).