Solar Industri Dijual Murah di Marketplace, Pengawasan Dipertanyakan
Solar untuk industri ditemukan dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan harga resmi yang ditetapkan Pertamina. Di marketplace Tokopedia, misalnya, ada yang menjual solar dengan harga Rp 6.650 per liter.
Padahal, jika mengacu harga jual yang dirilis Pertamina untuk di 34 provinsi di Indonesia pada April ini, harga solar nonsubsidi paling murah yaitu Rp 9.500 per liter.
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial and Trading, Putut Andriatno mengatakan bahwa normalnya Pertamina selalu merilis harga bahan bakar minyak (BBM) terbaru di situs resmi perusahaan. Namun Pertamina memberikan diskon tambahan untuk solar industri sehingga harganya bisa berbeda.
Putut tak memerinci lebih lanjut mengenai solar yang telah mendapat tambahan diskon tersebut, namun, Pertamina menjamin kualitas dan ketersediaan solar selama ini. "Kami punya storage, kredibilitas dan kantor kami ada, saat ini itu keunggulan kami," kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (9/4).
Terkait harga solar yang lebih murah di marketplace, Putut menjelaskan bahwa harga BBM mengacu pada formula perhitungan MOPS (Mean of Platts Singapore).
"Jika dilihat dari dasar harga MOPS, maka harga yang dijual di marketplace tidak wajar. Kalau ongkos angkut dan margin Badan Usaha dari terminal ke konsumen bervariasi," ujarnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai solar yang saat ini banyak beredar dengan harga murah merupakan solar yang berasal dari solar "kencing", solar minum maupun solar oplosan dari solar subsidi.
Pasalnya, setelah dihitung kembali, maka tidak wajar harga jual solar dapat semurah itu. Apalagi jika menggunakan perhitungan dasar MOPS yang berjalan saat ini. "Kurs mata uang rupiah dengan dolar, PPN 10%, iuran BPH Migas, dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBB-KB) saja sudah di atas Rp 9.000-an per liter," ujarnya.
Ia mengimbau supaya masyarakat berhati-hati dengan solar industri yang harganya jauh di bawah harga pasar karena kualitasnya patut dicurigai.
Mamit menambahkan BPH Migas, sebagai badan yang mempunyai fungsi pengawasan, seharusnya bisa menertibkan penjual tersebut. Pasalnya, untuk menjual solar industri dan marine harus memiliki izin yang biasa disebut izin niaga umum (INU).
Pada 2020 misalnya, BPH Migas hanya mampu menyelamatkan sebesar 1.800 kilo liter (KL). Dimana jumlahnya belum cukup signifikan dengan jumlah solar subsidi yang beredar di masyarakat yang berjumlah 71 juta KL. "Pengawasan ini sangat penting. BPH Migas harus meningkatkan pengawasan sektor tersebut," ujarnya.
Selain itu, BPH Migas juga perlu memberikan rekomendasi kepada Ditjen Migas untuk mencabut izin badan usaha yang memiliki INU tapi melakukan penyelewengan. BPH Migas sudah bekerja sama dengan aparatur negara lain seperti Kepolisian, TNI, Kejaksaan dan sebagainya, namun ia menilai kinerjanya masih kurang.
"Ini tugasnya BPH untuk melakukan pengawasan. Terlepas badan usaha lain merasa tidak rugi, tapi bicara persaingan bisnis secara sehat ini yang tidak terlaksana," ujarnya.
Direktur Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Patuan Alfon S mengatakan pihaknya telah melakukan pengawasan. Khususnya pengawasan atas Badan Usaha yang memiliki izin resmi. "BPH Migas melakukan pengawasan atas BU yang berniaga yang memiliki izin dari Kementerian ESDM," ujarnya.