Produsen Batu Bara Dunia Akan Buka 432 Tambang, Target Iklim Terancam
Produsen batu bara dunia saat ini merencanakan 432 proyek tambang baru dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 2,28 miliar ton. Hal ini berpotensi mengancam target pencegahan dan pengurangan dampak negatif perubahan iklim.
Menurut laporan lembaga pemikir (think tank) yang berbasis di Amerika Serikat, Global Energy Monitor, lebih dari 75% proyek tambang batu bara tersebut disumbangkan oleh Tiongkok, Australia, India, dan Rusia. Bahkan Tiongkok tengah menggarap tambang dengan kapasitas produksi 452 juta ton per tahun.
"Padahal IEA (Badan Energi Internasional) baru saja menyerukan lompatan besar menuju net zero emissions, rencana produsen batu bara untuk meningkatkan produks hingga 30% pada 2030 akan jadi kemunduran," kata analis Global Energy Monitor, Ryan Driskell Tate dikutip dari Reuters, Kamis (3/6).
Laporan tersebut mengatakan empat provinsi dan wilayah Tiongkok, Mongolia Dalam, Xinjiang, Shaanxi dan Shanxi menyumbang hampir 25% dari semua kapasitas tambang batu bara baru yang diusulkan.
Di sisi lain, Tiongkok berjanji pada 2030 akan menjadi tahun puncak emisinya untuk kemudian turun menjadi nol pada 2060. Pada awal tahun ini Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa Tiongkok akan mulai mengurangi produksi batu bara, tetapi tidak sampai 2026.
Xi mengatakan China berkomitmen untuk pembangunan hijau dan meningkatkan sistem energinya yang saat ini bergantung pada batu bara yang dianggap sebagai sumber utama penghasil emisi karbon pemanasan iklim. Simak databoks berikut:
"Kami akan membatasi secara ketat kenaikan konsumsi batu bara pada rencana lima tahun ke-14 (2021-2025) dan secara bertahap pada rencana lima tahun ke-15 (2026-2030)," katanya saat berbicara melalui tautan video di KTT tentang perubahan iklim yang diselenggarakan oleh Presiden AS Joe Biden.
Ini berarti bahwa konsumsi batu bara Tiongkok, yang sejauh ini merupakan yang tertinggi di dunia, akan mencapai puncaknya pada tahun 2025 dan mulai turun setelahnya.
Global Energy Monitor menyatakan bahwa proyek-proyek baru tersebut tidak hanya membahayakan upaya untuk memerangi pemanasan global, namun berisiko membebani perusahaan batu bara dengan aset terlantar yang nilainya mencapai US$ 91 miliar atau hampir Rp 1.300 triliun.
"Apalagi permintaan batu bara tengah anjlok dan pembiayaan untuk proyek batu bara baru mulai mengering. Tambang baru dan perluasan tambang yang ada akan menghasilkan batu bara untuk dunia di mana batu bara tidak layak secara ekonomi, dan tidak dapat dipertahankan bagi lingkungan," kata Driskell.