Ancaman Pencabutan Ribuan Izin Usaha Tambang Menuai Polemik
Ancaman pencabutan ribuan izin usaha pertambangan yang tidak melakukan kegiatan sama sekali menuai pro kontra. Menurut data Kementerian ESDM, dari 5.600 izin usaha tambang, terdapat 2.350 yang terancam dicabut.
Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso menilai ancaman tersebut menunjukkan ketidaktahuan pemerintah tentang apa yang dikerjakan pengusaha tambang. Di samping itu, dia menilai pemerintah membuat aturan yang tidak memahami realitas yang dihadapi industri.
"Hanya akibat aturan baru yang dibuat, hampir 50% izin usaha dapat terancam dicabut, dan ini bukan kesalahan dari pemilik izin," kata Budi kepada Katadata.co.id, Selasa (29/6).
Budi menyebut kondisi tersebut karena pemilik izin butuh waktu untuk menyesuaikan dengan aturan baru, di samping alasan teknis maupun finansial. Untuk itu dia menyarankan agar pemerintah dapat membuat diskresi pada persoalan ini.
"Kenapa kalau tambang besar pemerintah selalu punya solusi, tetapi bagi IUP langsung mengancam. Pemegang IUP sudah banyak mengeluarkan biaya dan menjadi bencana kalau sampai 2.300 IUP tersebut dicabut," ujarnya.
Oleh karena itu seharusnya pemerintah juga dapat memberikan relaksasi kepada pemilik IUP tersebut, minimal satu tahun untuk menyiapkan segala sesuatunya. "Kalau pemerintah jujur maka 2.300 IUP tersebut tidak akan mungkin bisa diselesaikan pemerintah pusat," tambahnya.
Sebaliknya, Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mendukung pemerintah. Menurutnya langkah ini demi menjaga tata kelola mineral dan batu bara yang baik dan akuntabel, terutama dengan mempertahankan peran pemerintah daerah dalam pengelolaan pertambangan.
Peran pemerintah daerah dapat difokuskan pada tambang yang dengan jelas melakukan aktivitas sesuai ketentuan yang ada. Tanpa sikap tegas seperti ini, justru pemerintah akan dihadapkan pada pengelolaan tambang yang bahkan belum tentu akan memberikan manfaat optimal sesuai amanah undang-undang.
"Juga akan berakibat pada rusaknya lingkungan di wilayah tambang, yang akan merugikan masyarakat di sekitar lokasi tambang," katanya.
Sikap tegas pemerintah diperlukan karena Pasal 35 ayat 1 UU Minerba menegaskan bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Dengan sikap tersebut maka akan jelas perusahaan tambang mana yang memberikan manfaat selama beroperasi dan memudahkan evaluasi secara teknis.
Sedangkan pasal 35 ayat 4 menyebutkan pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha kepada pemerintah daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga pencabutan izin tidak dilakukan sembarangan, namun berdasarkan evaluasi atas kegiatan tambang.
Kegiatan tambang terdiri dari penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi dan produksi. Ketentuan dalam setiap tahapan menjadi sangat penting dan bahkan diatur dalam UU Minerba, demi kelangsungan usaha, investasi dan antisipasi kerusakan lingkungan.
Pembatasan luasan wilayah eksplorasi dan wilayah produksi, dan lamanya ketentuan eksplorasi, diberikan pemerintah dengan mempertimbangkan jenis mineral atau batu bara. Selain itu, juga potensi usaha yang dimungkinkan secara teknis dapat dilakukan.
Oleh karena itu, sangat jelas dalam pasal 42 mengatur batas waktu eksplorasi selama 8 tahun untuk pertambangan mineral logam, 3 tahun untuk pertambangan mineral bukan logam, 7 tahun untuk mineral logam jenis tertentu, 3 tahun untuk pertambangan batuan dan 7 tahun untuk pertambangan batu bara.
"Pemberian waktu tersebut menjadi dasar untuk menilai juga bagaimana pertambangan setelah dimiliki untuk selanjutnya akan dikelola," ujar Singgih.
Sehingga dengan pemetaan atau time-table yang jelas akan memberikan manfaat optimal bagi kepentingan investasi dan target penyerapan tenaga kerja, pemetaan produksi mineral dan batu bara ke depan, dan nilai keekonomian lainnya.
"Bukan setelah memiliki izin, lantas sebatas diperjual belikan tanpa arah yang jelas, yang merugikan rakyat, yang notabene sebagai pemilik sumber daya alam," ujarnya.
Bagi negara, pencabutan izin bagi penambang yang tidak melakukan kegiatan akan sangat menguntungkan dan membentuk tata kelola yang lebih baik. Apalagi visi Kementerian ESDM yang akan memperkuat industri hilir dari mineral dan mengoptimalkan nilai tambang bagi pertambangan batu bara.
Bagi investor yang telah melakukan investasi tanpa memperhatikan waktu dari tahapan pertambangan yang diberikan tentu bukan menjadi kesalahan pemerintah. "Justru kalau dibiarkan justru akan merugikan negara," ujarnya.
Sebelumnya Kementerian ESDM mengancam bakal mencabut izin usaha pertambangan yang tidak melakukan kegiatan sama sekali. Setidaknya dari 5.600 izin usaha tambang yang ada saat ini, terdapat 2.350 izin usaha yang tidak melakukan aktivitas apapun.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Minerba Irwandy Arif mengatakan sesuai instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi), perusahaan tambang yang tidak melakukan kegiatan, maka izinnya akan dicabut. Karena jika dibiarkan, kondisi tersebut akan merugikan negara.
Awalnya Presiden meminta 1.600 izin usaha tambang baik pemegang IUP, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), kontrak karya (KK) untuk ditinjau kembali izinnya. Namun setelah Kementerian ESDM melakukan sejumlah evaluasi, ternyata yang tidak melakukan kegiatan justru melebihi angka tersebut.
Saat ini pemerintah masih mengevaluasi semua izin tambang yang bermasalah tersebut. Mereka yang tidak bisa melakukan kegiatan, izinnya akan dicabut. "Ternyata bukan 1.600, malah ada 2.300-an yang mendekati 2350," ujar Irwandy dalam diskusi secara virtual, Jumat (25/6).