Tagihan Skema Take or Pay PLN Tahun Ini Diperkirakan Tembus Rp 100 T
Tagihan pembelian listrik PLN dari pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) melalui kebijakan take or pay (TOP) sejak 2019 terus meningkat. Bahkan tahun ini angkanya diperkirakan dapat mencapai Rp 102-103 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa menilai skema pembelian listrik dari pihak swasta melalui kebijakan tersebut cukup mengerikan. Pada 2019 misalnya, total pembayaran ke sejumlah IPP yang didominasi batu bara mencapai Rp 83,56 triliun.
"Kemudian di tahun 2020 mencapai Rp 98,65 triliun dan 2021 diperkirakan mencapai Rp 102-103 triliun itu adalah beban yang luar biasa," ujarnya dalam diskusi Bincang-bincang METI, Jumat (27/8).
Oleh sebab itu, ia menduga ketika pendapatan PLN berkurang karena masifnya penggunaan PLTS atap. Maka mereka-mereka yang selalu dibayar oleh PLN dengan harga tinggi ini yang mulai khawatir karena penetrasi PLTS atap semakin besar.
Fabby pun prihatin melihat kondisi keuangan PLN saat ini, terlebih di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 tidak ada kenaikan tarif listrik.
Ia heran kenapa PLN masih saja menggunakan skema ini. Padahal take or pay dengan kontrak jangka panjang selama 30 tahun itu merupakan kontrak dari IPP generasi pertama pada tahun 1992.
"Di negara lain kontrak PLTU tidak ada yang sampai 30 tahun. Kenapa gak 20 tahun. Tapi hal-hal ini saya kira ini sesuatu yang perlu direvisi. Ini kita perlu mendorong untuk PLN melakukan renegosiasi," ujarnya.
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN, Bob Syahril, mengatakan pihaknya mendukung 100% pengembangan EBT di Indonesia. Namun dalam peningkatan daripada bauran EBT tersebut PLN juga harus menimbang keselarasan antara supply and demand, pasokan dan permintaan.
Apalagi PLN memproyeksikan pertumbuhan penjualan listrik tahun ini lesu akibat pelemahan konsumsi listrik yang disebabkan pandemi Covid-19. Hingga akhir tahun ini ia memproyeksikan pertumbuhan listrik hanya tumbuh 1,8%.
Ditambah lagi PLN juga masih memiliki mega proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW). Hal ini tentu berat bagi perusahan setrum pelat merah dalam menggenjot bauran EBT.
Meski demikian, ia menyatakan rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) untuk periode 2021-2030 yang saat ini masih disusun diusahakan paling hijau alias ramah lingkungan. Pasalnya, porsi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) yang diusulkan kembali naik menjadi 52% dalam draft RUPTL.
"Ini komitmen kami menuju carbon neutral 2060 dengan transisi, kami tidak bisa ganti EBT semuanya sekaligus. Bagaimana caranya? Kami tidak siap (seperti itu). Makanya harus ada peta jalan," ujar Bob.