Pembatalan Larangan Ekspor Batu Bara Masih Menuai Kontroversi
Pemerintah akhirnya membuka kembali keran ekspor batu bara bagi sejumlah perusahaan tambang yang telah memenuhi ketentuan DMO sebesar 25% dari produksi. Awalnya, larangan ekspor ditetapkan berlaku 1–31 Januari 2022.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan pembatalan larangan ekspor batu bara menunjukkan inkonsistensi kebijakan pemerintah yang terus terjadi. Hal ini pun akan berimbas pada investor, ketidakpastian kebijakan batu bara menurut dia hanya cerminan besarnya instabilitas dalam kebijakan pemerintah.
Padahal larangan ini merupakan salah satu kebijakan yang umurnya pendek. Namun pemerintah belum bisa mendamaikan antara kepentingan ketersediaan pasokan listrik dengan kepentingan pengusaha batu bara.
"Sejak awal adanya larangan ekspor batu bara yang dilakukan secara mendadak, sudah timbul pertanyaan besar, apakah ini hanya gertak sambal? Ternyata betul, ini hanya untuk menggertak pemain pertambangan batu bara untuk mematuhi regulasi DMO," ujar Bhima kepada Katadata.co.id, Jumat (14/1).
Menurut dia seharusnya pemerintah melakukan penegakan aturan saja, dengan regulasi DMO batu bara yang ada, perusahaan yang tidak patuh dikenakan sanksi. Namun ia sadar memang sulit mendamaikan kepentingan pasokan listrik PLN dengan kepentingan pengusaha batu bara.
"Vested interest secara politiknya terlalu besar. Disisi lain, argumen kehilangan devisa ekspor dan pengaruh terhadap stabilitas nilai tukar rupiah terus disuarakan pengusaha," ujarnya.
Sementara ada juga risiko pelarangan ekspor batu bara akan sebabkan gugatan negara lain dan itu menjadi pertimbangan utama. Sehingga akhirnya larangan ekspor dibatalkan sebelum akhir Januari 2022.
Bhima menilai dalam indeks daya saing global, permasalahan paling utama berbisnis di Indonesia salah satunya adalah ketidakpastian kebijakan pemerintah atau kebijakan yang sulit diprediksi. Padahal banyak investor yang rentang keputusan investasinya lebih dari 10 tahun. "Pastinya akan merubah banyak keputusan untuk berinvestasi terutama di sektor energi," kata Bhima.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai kebijakan penundaan ekspor batu bara disebabkan karena adanya ancaman pasokan PLN. Sehingga langkah pemerintah yang kemudian melarang ekspor perusahaan tambang yang belum memenuhi komitmen DMO untuk PLN sangat tepat.
"Kalau pemerintah tidak melakukan yang tepat untuk amankan pasokan dalam negeri dan mengizinkan ekspor salah. Karena UU menyatakan harus dipenuhi energi dalam negeri kemudian baru ekspor," ujar Fabby.
Sementara, laporan PLN saat ini menyatakan pasokan batu bara untuk PLTU telah mencukupi 15 hari operasi (HOP). Dengan kondisi tersebut, maka tidak ada alasan bagi pemerintah menunda ekspor perusahaan tambang yang telah memenuhi komitmen DMO nya.
"Ini fair, ketentuan ekspor dikaitkan dengan kewajiban DMO. Jadi ketika diberikan izin ekspor terhadap perusahaan perusahaan yang sudah memenuhi DMO adalah sesuatu yang fair. Karena mereka sudah memenuhi UU. Alasan kedua juga, PLN sudah terpenuhi," ujarnya.
Selain itu, tidak seluruhnya produksi batu bara nasional memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan untuk pembangkit listrik PLN. Terutama jika itu adalah batu bara dengan kalori tinggi. "Kalau seperti itu kan wajar juga karena gak dibeli dalam negeri. Sementara mereka kan sudah menambang sudah masuk kapal siap ekspor," ujarnya.
Kementerian ESDM sebelumnya memastikan hanya 18 kapal muatan batu bara yang mendapat izin berlayar menuju negara tujuan ekspor. Sebelumnya, pemerintah bersiap memberikan izin ekspor untuk 37 kapal yang dalam proses muat.
Hal tersebut diketahui berdasarkan surat Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara yang diterima Katadata.co.id. Surat bernomor B-165/MB.05/DJB.B/2022 tertanggal 13 Januari ini ditujukan kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Direktur Jenderal Bea dan Cukai serta Direktur Jenderal Perhubungan Laut.
Dalam isi surat tersebut, pemberian izin ekspor bagi 18 kapal dilakukan lantaran telah memuat batu bara dari pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi yang telah memenuhi DMO 2021 sebesar 100% atau lebih.
Kementerian ESDM menegaskan kembali, pencabutan pelarangan penjualan batu bara ke luar negeri berlaku bagi PKP2B dan IUP Operasi Produksi yang telah memenuhi DMO tahun 2021 sebesar 100% atau lebih.
"Berdasarkan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa sanksi pelarangan penjualan batu bara ke luar negeri atas 18 kapal bermuatan batubara dari pemegang PKP2B dan IUP Operasi Produksi yang telah memenuhi DMO tahun 2021 sebesar 100% atau lebih dicabut," isi surat tersebut, dikutip Jumat (14/1).