Harga Gas Industri Murah Buat Penerimaan Negara Turun, Apa Kata KPK?
KPK menyatakan bahwa tidak semua kerugian negara akibat suatu kebijakan pemerintah masuk dalam tindak pidana korupsi. Hal tersebut menyikapi turunnya penerimaan negara imbas kebijakan harga gas industri US$ 6 per MMBtu (metric million British thermal unit).
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan belum mengkaji lebih lanjut kebijakan harga gas industri yang dinilai membuat penerimaan negara anjlok. Namun, rekomendasi KPK hanya diberikan untuk memperbaiki sistem yang berpotensi korup.
Sementara, ia meyakini, dalam pemberian harga gas industri ini pemerintah telah menghitung ulang dampaknya. "Jadi negara kehilangan penghasilan tapi industri bisa dapat gas murah. Biaya produksi jadi turun terutama untuk industri yang butuh gas banyak," kata Pahala kepada Katadata.co.id, Kamis (20/1).
Meskipun penerimaan negara berkurang, penetapan harga gas industri akan menciptakan multiplier effect yang jauh lebih besar. Hal tersebut sama halnya kebijakan penghapusan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) tahun lalu.
Negara kehilangan penerimaan, namun harga mobil jadi lebih murah. Sehingga membuat sebagian banyak orang terdorong untuk memesan mobil. Industri suku cadang pun jalan, dan tenaga kerja tidak dirumahkan.
"Jadi kalau negara rugi dan ada unsur melawan hukum kayak nabrak aturan yang ada gitu, sengaja pula. Nah ini masuk, tapi kalau kerugian negara saja padahal karena taat aturan gak bisa tuh," ujarnya.
Sebelumnya SKK Migas mengungkapkan penerimaan negara dari sektor migas turun US$ 1,2 miliar pada 2021, salah satunya imbas kebijakan tersebut. Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief S. Handoko mengatakan potensi penurunan penerimaan negara akibat kebijakan harga gas industri tahun ini akan lebih besar.
Pasalnya ada usulan untuk menambah industri-industri baru yang dapat menikmati harga gas khusus. "Ada usulan dari Kementerian Perindustrian terkait tambahan sektor industri," ujar Arief dalam Konferensi Pers secara virtual, Senin (17/1).
Kemenperin mengusulkan sektor industri yang menerima harga gas khusus ditambah menjadi 13 industri dari 7 saat ini. Usulan ini masih dibahas bersama dengan Kemenko Marves, Kementerian Investasi, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "Kemungkinan yang disetujui 10 industri, tetapi masih belum final," kata dia.
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menilai rencana pemerintah untuk memperluas insentif harga gas industri perlu mendapat perbaikan dan masukan dari berbagai pihak.
Ia menilai kebijakan insentif gas yang berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dinilai kurang tepat sasaran dan berisiko merugikan keuangan Negara dalam jangka panjang.
“Bisa dibayangkan kerugian negara cukup besar. Pendapatan negara dari hulu migas sepanjang 2020 hanya US$ 460 juta. Jumlah itu jauh dibawah proyeksi awal ketika kebijakan harga gas US$ 6 itu diberlakukan pada Juni 2020 yakni US$ 1,39 miliar. Artinya ada potential loss bagian negara pada saat harga gas sedang tinggi," kata Bhima.