Hankam Jadi Faktor Penting Pengelolaan Migas di Wilayah Perbatasan
Wilayah perbatasan negara kerap memunculkan kasus unik dibandingkan dengan problem di daerah lain, termasuk dalam pengelolaan minyak dan gas bumi. Dalam perspektif pertahanan negara, hasil penelitian Promovendus Sampe L. Purba menunjukkan bahwa aspek pertahanan keamanan menjadi foktor utama dalam kebijakan pengelolaan migas di perbatasan.
Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ini mengatakan, aspek hankam menduduki skor tertinggi hingga 24,40 % dibandingkan dengan elemen non-pertahanan. Sementara faktor non-pertahanan tertinggi adalah ekonomi sebesar 22,74 %.
“Dalam alternatif pilihan kebijakan publik, infrastruktur menempati posisi tertinggi 29,87 % disusul regulasi pada skor 28,56 %,” demikian bagian paparan Sampe ketika mempertahankan disertasinya dalam sidang terbuka Program Doktor Ilmu Pertahanan, Universitas Pertahanan Bogor beberapa waktu lalu.
Dalam disertasi berjudul “Kebijakan Pengelolaan Migas Dalam Perspektif Pertahanan Negara di Wilayah Perbatasan Laut Andaman, Aceh” ini, Sampe menyebutkan ada tiga pertanyaan kunci sebagai fokus dan tujuan penelitian. Pertama terkait posisi geostrategi wilayah perbatasan Aceh di ujung Selat Malaka sebagai gerbang kawasan Asia Pasifik menuju wilayah Lautan Hindia.
Kedua mengenai potensi sumber daya alam migas di wilayah frontier (terpencil) di lepas pantai. Hal ini dikaitkan dengan fasilitas pendukung yang telah tersedia di darat. Lalu, yang ketiga yakni pilihan kebijakan publik untuk menjembatani kepentingan investor yang konkrit dan mikro dan kepentingan pemerintah. Hal itu dilihat dalam dimensi yang lebih luas dan makro dalam perspektif pertahahan negara di wilayah perbatasan.
Sampe menggunakan metode penelitian campuran kuasi kualitatif antara parameter-parameter kuantitatif sumber daya di lapangan seperti volumetrik dan montecarlo analysis, minimum economic field size, expected monetary value, decision tree analysis dan internal rate of return (IRR).
Secara transformatif konkuren, penelitian tersebut dipadukan dengan preferensi pilihan kebijakan berdasarkan metode modified analytic hierarchy process (AHP). Ini untuk menguji kriteria utama aspek hankam versus non-hankam yang meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, terhadap alternatif kebijakan sumber daya manusia, model kontrak migas, infrastruktur, dan regulasi.
Menurut Sampe, beberapa hal menarik dari penelitian akademisnya antara lain perlunya paradigma baru dalam kebijakan pengelolaan migas di wilayah perbatasan negara. Sumber kekayaan alam di perbatasan, termasuk migas merupakan bagian dari sumber daya nasional yang harus dapat sesewaktu difungsikan sebagai pendukung sistem pertahanan nasional. Pengelolaan migas di perbatasan mesti mempertimbangkan secara komprehensif, terintegrasi dan holistik aspek geostrategi, geoekonomi dan geopolitik.
Dalam konteks kebijakan publik, diperlukan desain infrastruktur migas yang kompatibel dan saling mendukung dengan pertahanan negara. Untuk itu perlu dipayungi instrumen regulasi. Model kontrak migas di wilayah perbatasan juga harus spesifik, yang dapat mengakomodasi dimensi pertahanan negara, aspek teknis, dan ekonomis.
Dalam pidato penutupnya, Sampe menyampaikan terima kasih telah dibimbing Prof. Yusgiantoro, Ph.D yang pernah mengemban menteri di dua bidang tersebut, energi dan pertahanan. Sebagai Co Promotor adalah Kol. Laut (KH) Dr. Ir. Yanif Dwi Kuntjoro dan Dr. Ing. Ir. Rachmat Sudibjo yang pernah di posisi Dirjen Migas dan Kepala BP Migas.