Abaikan Krisis Iklim, Pembiayaan Proyek Batu Bara Dunia Melonjak 125%
Pembiayaan proyek yang berkaitan dengan batu bara di seluruh dunia pada tiga bulan pertama 2022 melonjak signifikan seakan mengabaikan komitmen sektor perbankan dalam membantu upaya penurunan emisi karbon.
Menurut data Bloomberg, sampai dengan Maret 2022, pembiayaan terkait proyek batu bara oleh perbankan di seluruh dunia nilainya mencapai US$ 9,9 miliar, sekitar Rp 142 triliun. Nilai tersebut naik 125% dibandingkan periode yang sama 2021 US$ 4,4 miliar, sekitar Rp 63 triliun dengan kurs saat ini.
Sebagian besar pembiayaan tersebut terakumulasi di Cina. “Sungguh menakjubkan, jumlahnya sangat besar. Bagaimana mungkin pada 2022 bank masih membiayai batu bara,” kata Manajer Penelitian dan Kebijakan di Rainforest Action Network, seperti dikutip Bloomberg, Rabu (30/3).
Menurut data organisasi lingkungan yang berbasis di San Fransisco, Amerika Serikat (AS) ini, 60 bank terbesar di dunia telah menggelontorkan sekitar US$ 4,6 triliun, sekitar Rp 66.000 triliun dengan kurs saat ini, untuk membiayai perusahaan minyak, gas, dan batu bara, sejak perjanjian Iklim Paris diumumkan pada akhir 2015.
Ketika itu para bankir memasukkan batu bara ke dalam "kotak penalti" dan mulai membatasi eksposurnya terhadap proyek mineral hitam ini. Namun sepertinya pembiayaan batu bara kembali meroket, bahkan nilainya saat ini telah mencapai dua kali lipat dibandingkan pada 2017 dan terus meningkat.
“Batu bara perlu dihapus secara bertahap oleh negara-negara OECD dan Uni Eropa pada 2030, dan pada tahun 2040 di seluruh dunia, untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris,” kata Kirsch, mengutip laporan dari PBB dan Analisis Iklim.
Namun peningkatan investasi batu bara membuat penghapusan tersebut semakin sulit. Rainforest Action, yang bersama dengan organisasi nirlaba yang berfokus pada iklim lainnya termasuk BankTrack, Reclaim Finance, dan Sierra Club telah mengembangkan skor iklim untuk bank.
Tidak terlalu mengejutkan, mereka yang menempati peringkat terendah adalah pemberi pinjaman yang memberikan pendanaan paling banyak untuk bahan bakar fosil, yaitu JPMorgan Chase, Citigroup, Wells Fargo, dan Barclays. Untuk batu bara, Industrial Bank menjadi yang terbesar.
“Ini sangat mencolok. Sudah lewat waktunya bagi setiap bank di setiap negara untuk segera mengakhiri dukungannya terhadap perluasan pertambangan dan pembangkit listrik,” kata Kirsch.
Kesimpulan utama dari publikasi Rainforest Action adalah bahwa pendanaan yang tidak terkendali untuk ekstraksi bahan bakar fosil dan infrastruktur menyebabkan kekacauan iklim dan mengancam kehidupan dan mata pencaharian jutaan orang.
“Dan khususnya, ketidakmampuan para bankir untuk memotong keran pembiayaan untuk sektor batu bara sangat mengerikan,” kata Kirsch.
Batu bara kembali menjadi fokus dunia setelah Rusia melancarkan perangnya di Ukraina. Eropa bergantung pada gas alam dari Rusia, dan perang telah mendorong negara di benua biru, termasuk Jerman, mempertimbangkan untuk kembali menyalakan pembangkit listrik tenaga batu bara.
“Gambaran besarnya di sini adalah momen untuk mempercepat gerakan menuju energi terbarukan, dan yang terjadi malah sebaliknya, kita tidak mempercepat transisi,” kata Kirsch.