Kenaikan Harga Pertalite dan LPG 3 Kg Tinggal Tunggu Keputusan Jokowi
Rencana pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertalite dan LPG 3 kilogram (kg) tinggal menunggu persetujuan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Presiden akan menentukan kenaikan kedua harga tersebut dalam rapat kabinet.
Deputi Bidang Koordinasi dan Pengembangan Usaha Milik Negara, Riset, dan Inovasi Kemenko Perekonomian, Montty Girianna, mengatakan bahwa pemerintah saat ini sedang menghitung potensi penambahan subsidi dan biaya kompensasi.
Adapun saat ini Kemenko Perekonomian, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan PT Pertamina tengah menggodok usulan besaran kenaikan harga Pertalite dan LPG 3 kg.
“Itu (kenaikan harga Pertalite dan LPG 3 kg) diputuskan pada saat rapat terbatas dengan Presiden," kata Montty dalam Energy Corner pada Senin (25/4/).
Selain itu, mereka juga melakukan perhitungan terkait berapa besaran bantalan sosial yang perlu disiapkan oleh pemerintah akibat kenaikan harga dua komoditas energi bersubsidi tersebut.
“Kemenkeu menghitung inflasi yang terjadi akibat kenikan harga dan merancang besaran bantalan sosial dari APBN. Sedangkan Kementerian BUMN memastikan Pertamina mampu untuk membeli BBM dan kemudian mendistribusikannya ke masyarakat,” ujar Montty.
Adapun faktor penentu lonjakan subsidi BBM dan LPG bertumpu pada harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang mengacu pada Mean of Platts Singapore (MOPS). Pasalnya, pembelian atau impor BBM oleh Pertamina mengacu pada MOPS.
"Dengan fluktuasi itu, kita lihat gap antara harga Pertalite dan harga keekonomian dan harga Solar. Lalu LPG, harga keekonomiannya makin ke sini, makin bengkak," tambahnya.
Pada kesempatan tersebut, Montty menprediksi jumlah subsidi dan kompensasi BBM Pertalite, Solar subsidi dan LPG pada tahun 2022 melonjak hingga di angka Rp 350 triliun sampai Rp 400 triliun. Simak databoks berikut:
Angka ini merupakan hasil perhitungan dari asumsi harga minyak yang melonjak menjadi US$ 100 per barel. Sedangkan asumsi awal harga minyak yang ditetapkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 hanya US$ 63 per barel.
Montty menjelaskan, ongkos subsidi dan kompensasi yang harus dibayar oleh Pemerintah saat ini jauh lebih besar dari perkiraan awal saat harga minyak Indonesia (ICP) berada di harga US$ 63 per barel.
Menurutnya, jika harga ICP sesuai dengan perkiraan awal, Pemerintah perlu mengeluarkan Rp 70-80 triliun untuk subsidi solar dan LPG. Sedangkan kompensasi untuk penjualan bensin Pertalite dan solar subsidi berada di kisaran Rp 60-70 triliun.
"Waktu itu asumsi ICP US$ 63 per barel, perkiraan subsidi dan kompensasinya Rp 140-an triliun. Sementara kalau ICP naik jadi US$ 100 per barel, subsidi plus kompensasi bisa sekitar Rp 350 triliun sampai Rp 400 triliun," papar Montty.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menegaskan jika harga BBM benar-benar dinaikkan akan menyulut inflasi dan mempuruk daya beli masyarakat. Kenaikkan inflasi akan menyebabkan kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok, yang memberatkan beban masyarakat, utamanya rakyat miskin.
Fahmy menambahkan, cara-cara seperti pemberian bantuan langsung tunai (BLT) untuk kompensasi penaikkan harga BBM tidak akan menyelesaikan masalah penurunan daya beli masyarakat.
“Pasalnya, pemberian BLT terbatas dalam jangka waktu tertentu, sedangkan kenaikkan harga-harga kebutuhan pokok hampir tidak terbatas,” kata Fahmy kepada Katadata.co.id Senin (25/4).
Menurut Fahmi, Pemerintah bisa menanfaatkan pendapatan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Migas dan windfall Batu bara untuk tetap memberikan subsidi BBM. “Kalau PNBP Migas masih belum mencukupi untuk menambal subsidi, Pemerintah sesungguhnya bisa menggunakan pendapatan windfall dari batu bara,” tukas Fahmy.