Mencari Skema Penyaluran Subsidi BBM Agar Tepat Sasaran
BPH Migas menyebut pemerintah bakal mengubah skema penyaluran subsidi BBM dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Direktur Bahan Bakar Minyak BPH Migas, Patuan Alfon, mengatakan ada sejumlah hal yang bakal diubah dalam perpres tersebut, satu diantaranya adalah mengubah ketentuan penyaluran BBM bersubsidi jenis solar.
Saat ini, penyaluran solar di sektor transportasi hanya mengatur larangan distribusi kepada mobil barang untuk pengangkutan hasil kegiatan perkebunan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam buah.
"Kalau ditanya apakah nanti yang lain boleh? Boleh karena tidak dilarang. Termasuk kendaraan roda enam milik perkebunan dan pertambangan yang dibatasi 200 liter," kata Alfon dalam diskusi daring Tempo bertajuk Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sarasan pada Selasa (30/8).
Alfon mengatakan, poin tersebut merupakan salah satu aspek yang disoroti oleh BPH Migas dalam revisi perpres 191. Dia menyebut, poin tersebut perlu diatur lebih lanjut soal pengendalian jenis-jenis kendaraan yang masih berhak menerima Solar subsidi.
"Kalau ditanya apakan aturan ini sudah tepat sasaran? Tentu belum karena masih banyak area abu-abu. Dalam usulan kami di lampiran konsumen pengguna, BPH Migas mengusulkan ini agar konsumen BBM bersubsidi bisa jelas dan tepat," ujar Alfon.
Subsidi Salah Sasaran
Menanggapi adanya sejumlah kendaraan roda enam milik perkebunan dan pertambangan yang masih boleh menerima Solar bersubsidi, Anggota Komisi VII DPR Adian Napitupulu membuat perhitungan sederhana.
Adian mengatakan saat ini ada 7.624 perusahan perkebunan dan pertambangan di Indonesia. Dengan asumsi rata-rata tiap perusahaan memiliki 30 truk roda enam berbahan bakar solar, maka ada 228.720 truk yang menyerap 200 liter per harinya.
Jika dikalkulasikan, tiap harinya ada 45,74 juta kilo liter (kl) solar subsidi mengalir ke tangki-tangki truk milik perusahaan perkebunan sawit maupun pertambangan.
Sementara untuk nominal subsidi yang dikeluarkan oleh negara, Adian berpatokan pada selisih antara harga keekonomian dengan harga jual eceran yang dikatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mencapai Rp 8.800 per liter.
"Satu tahun itu subsidi yang terpakai dengan asumsi selisih Rp 8.800 rupiah itu mencapai Rp 147 triliun. Jadi subsidi ini untuk perusahan atau untuk rakyat? Jangan-jangan yang terima subsidi ini perkebunan besar misalnya Sinarmas, London Sumatera dan sebagainya," jelas Adian.
Lebih lanjut, jelas Adian, Indonesia memiliki 2.892 perusahaan kelapa sawit yang 323 diantaranya merupakan penanaman modal asing (PMA). Dengan kalkulasi yang sama, pemerintah menghabiskan Rp 55,73 triliun per tahun untuk mengalirkan solar bersubsidi ke truk-truk roda enam milik perusahaan asing.
"Lalu saya cari berapa pajak kebun sawit yang masuk ke kita? Hanya Rp 20 triliun. Ini ada selisih Rp 35 triliun. Ini kok jadi rugi. Jangan-jangan kita memberi subsidi kepada PMA itu. Apakah negara pernah menjelaskan ini? Inilah sasaran subsidi yang tidak tepat dan itu yang terjadi," tutur Adian.
Adian pun berhadap pemerintah bisa menjelaskan adanya kebocoran distribusi BBM bersubsidi sebelum memutuskan untuk menaikan harga. Dia menilai, masyarakat lebih membutuhkan informasi dan kepastian soal kemana uang subsidi tersebut dialirkan.
Informasi tersebut dirasa lebih bisa diterima warga ketimbang kabar yang mengatakan kenaikan harga BBM perlu dilakukan akibat lonjakan komoditas energi global imbas konflik Rusia dan Ukraina.
"Menurut saya itu persoalan kepercayaan. Kalau subsidi BBM dikurangi, duitnya jadi apa? ada pertanyaan itu. Narasi ini harus dibangun oleh negara," ucapnya.
Perlu Nomor Identitas Tunggal
Sementara itu, staf khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menyebut pemerintah memiliki segala sumber daya untuk menerapkan subsidi BBM selayaknya penyaluran bantuan sosial yang memanfaatkan data pribadi dan alamat penerima hak.
Salah satunya dengan memanfaatkan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial. "Ternyata ketahuan waktu Pandemi Covid-19 itu, DKTS tidak pernah diperbaharui. Orang sudah meninggal lima tahun lalu masih mendapatkan bantuan. Kita baru tahu bahwa data kita masih centang-perenang," ujarnya.
Prastowo menjelaskan, saat ini pemerintah sedang merancang skema penyaluran bantuan sosial dengan mengintegrasikan NIK dengan nomor NPWP. Dari sana, ujar Prastowo, dapat diketahui kelompok masyarakat yang berhak memperoleh subsidi maupun bantuan sosial lainnya.
"Kita harus punya nomor identitas tunggal, itu kuncinya. Kalau orang punya satu nomor identitas, pengawasan dan pelayanan mudah diberikan," tukasnya.