Buka Lagi Tambang Batu Bara Baru, Komitmen Iklim Inggris Dipertanyakan
Pemerintah Inggris telah menyetujui proyek tambang batu bara di wilayah Cumbria senilai £ 165 juta atau sekitar Rp 3,26 triliun yang akan beroperasi selama 50 tahun ke depan. Ini merupakan proyek tambang batu bara pertama dalam tiga dekade terakhir. Tambang batu bara terakhir di Inggris ditutup pada 2015.
Pemerintah Inggris menyatakan batu bara yang diproduksi tambang ini akan memasok produsen baja di Inggris dan Eropa Barat dan mempekerjakan lebih dari 500 pekerja ketika mencapai produksi puncak setelah lima tahun, dengan lebih dari 80% dari mereka diharapkan bekerja di bawah tanah dalam produksi batubara.
Proyek tersebut, yang diumumkan pada 2014, telah mendapat kecaman dari berbagai pihak di antaranya Ketua COP26 Alok Sharma, panel penasehat iklim independen pemerintah Inggris, serta aktivis dan organisasi iklim, termasuk Greta Thunberg dan Greenpeace.
“Selama tiga tahun terakhir, Inggris telah berusaha membujuk negara-negara lain untuk meninggalkan batu bara, karena kita berjuang untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C, dan batu bara adalah sumber energi yang paling berpolusi,” kata Sharma dikutip dari The Guardian, Senin (19/12).
Dia menambahkan bahwa keputusan untuk membuka tambang batu bara baru akan mengirimkan pesan yang salah kepada dunia. “Tambang batu bara yang diusulkan ini tidak akan berdampak pada pengurangan tagihan energi atau memastikan keamanan energi Inggris,” ujarnya.
Sharma mengatakan melalui akun Twitternya bahwa lebih banyak pekerjaan dapat diciptakan dengan mengembangkan industri hijau di daerah tersebut (Cumbria) daripada membuka tambang batu bara baru.
Menurut Sharma, klaim pemerintah Inggris bahwa batu bara akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan produsen baja tidak benar. Sebab mereka telah menolaknya. “85% batu bara yang diproduksi akan diekspor, bukan untuk penggunaan domestik. Dua produsen baja utama Inggris belum tentu menggunakan banyak batu bara,” kata Sharma.
Terlepas dari rencana untuk digunakan di luar Inggris, ketua Komite Perubahan Iklim independen Inggris (UKCCC), John Gummer, percaya bahwa persetujuan proyek itu sama sekali tidak dapat dipertahankan.
Sebab emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan dari pembakaran batu bara merupakan penyumbang terbesar perubahan iklim. Selama setahun terakhir, dan khususnya setelah KTT iklim COP26, dunia telah melihat meningkatnya tekanan global untuk mengekang penggunaan batu bara demi sumber energi yang lebih bersih.
Bahkan Uni Eropa telah membuat jaring besar dengan memasukkan sumber energi tak terbarukan, seperti gas alam dan tenaga nuklir, sebagai cara untuk memastikan peralihan dari batu bara ke energi yang 'kurang kotor'. “Namun, Inggris tampaknya terbuka untuk memasok batu bara sementara permintaan internasional tetap tinggi,” ujar Gummer.
UKCCC menyarankan pemerintah pada tahun 2021 bahwa industri baja harus menghentikan penggunaan batu bara paling lambat pada 2035 jika Inggris ingin memenuhi target net zero emission 2050.
Di sisi lain produsen baja di Inggris juga tengah menjajaki sumber energi alternatif untuk produksi mereka. Salah satu yang potensial yaitu menggunakan electric arc furnaces (EAF) atau tanur listrik.
Namun, IEA telah memperjelas bahwa perlu ada peta jalan yang harus diikuti oleh industri baja untuk mengekang emisi karbonnya, dengan sebagian besar opsi rendah karbon alternatif untuk produksi masih belum dikembangkan.