Negara Berpotensi Raup Bagi Hasil Rp18,4 T dari Pengembangan Blok Tuna
Pemerintah telah memberikan persetujuan rencana pengembangan atau Plan of Development (POD) pertama Lapangan Tuna di Blok Tuna yang dioperasikan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Premier Oil Tuna BV.
Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Blok Tuna tediri dari investasi (di luar sunk cost) diperkirakan sebesar US$ 1,050 miliar atau setara Rp 16,35 triliun dengan kurs Rp 15.574 per dolar AS.
Sementara investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit mencapai US$ 2,020 miliar atau Rp 31,45 triliun dan biaya Abandonment and Site Restoration (ASR) sebesar US$ 147,59 juta atau setara dengan Rp 2,29 triliun.
Adapun persetujuan POD Lapangan Tuna diberikan oleh Menteri ESDM berdasarkan rekomendasi SKK Migas. Pemerintah juga memberikan beberapa insentif untuk mendorong keekonomian Lapangan Tuna yang memiliki risiko yang tinggi.
Dengan masa produksi yang diperkirakan sampai 2035, Pemerintah akan mendapatkan gross revenue sebesar US$ 1,24 miliar atau setara dengan Rp 18,4 triliun. Adapun Kontraktor gross revenue sebesar US$ 773 juta atau setara dengan Rp 11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$ 3,315 miliar.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyampaikan persetujuan POD Pertama Lapangan Tuna menunjukkan bahwa daya saing investasi hulu migas masih menjanjikan dan mampu menarik investor dunia.
Dwi menambahkan bahwa meskipun lokasi Lapangan Tuna memiliki risiko tinggi, namun dengan dukungan insentif dan fleksibilitas yang diberikan Pemerintah, maka dapat meningkatkan keekonomian lapangan tuna sehingga POD Pertama Lapangan Tuna dapat direalisasikan.
“Investasi Lapangan Tuna sangat besar dari sejak proyek hingga operasional sampai economic limit dengan nilai investasi mencapai US$ 3,070 miliar dolar atau setara dengan Rp 45,4 triliun sehingga akan turut memperkuat dan menggerakkan perekonomian nasional," kata Dwi dalam siaran pers pada Senin (2/1).
Lebih lanjut, kata Dwi, pemerintah diperkirakan bakal mendapat pemasukan hingga Rp 18,4 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan penerimaan kontraktor yang sebesar Rp 11,4 triliun.
Menurut Dwi, hal ini menunjukkan pemberian insentif untuk meningkatkan keekonomian Lapangan Tuna tetap menempatkan kepentingan negara pada posisi yang tinggi sebagaimana negara harus mendapatkan manfaat terbesar sebagaimana amanah UUD 1945 Pasal 33.
"Dengan TKDN hulu migas yang tinggi, yang saat ini mencapai 63%, maka industri nasional di pusat dan daerah akan mendapatkan manfaat besar dari investasi tersebut," ujar Dwi.
Sebagai WK yang pengelolaan hulu migasnya terletak di wilayah perbatasan, seperti di Blok Natuna, pemerintah juga akan melibatkan aparat keamanan, khusunya TNI AL yang juga akan berperan untuk mengamankan proyek hulu migas itu.
Sehingga, secara ekonomi dan politik, pengelolaan Lapangan Tuna menjadi penegasan kedaulatan Indonesia di wilayah tersebut.
Persetujuan POD Pertama akan segera dilanjutkan dengan pelaksanaan proyek di Lapangan Tuna, sehingga akan ada aktivitas di wilayah perbatasan yang masuk salah satu hot spot geopolitik dunia.
"Tentu tidak hanya bermakna hitung-hitungan ekonomi semata, tetapi juga ada kepentingan kedaulatan NKRI. Bendera merah putih akan berkibar di lokasi proyek," ujar Dwi.