Kilas Balik Program Mandatori Biodiesel, dari B2,5 kini Menjadi B35
Pemerintah telah menetapkan implementasi Biodiesel 35% atau B35 mulai 1 Februari 2023. Adapun B35 adalah praktik mencampur biodiesel dari fatty acid methyl ester atau FAME minyak kelapa sawit sebesar 35% ke dalam solar.
Kebijakan pemanfaatan minyak kelapa sawit sebagai bahan campuran BBM sejatinya sudah berjalan sejak tahun 2008 melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 tentang Penyediaan Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
Menurut Permen tersebut, implementasi biodiesel ditujukan untuk menjaga ketahanan energi nasional. Awalnya, program biodiesel dilakukan secara bertahap untuk sektor transporasi khusus PSO 1% atau B1, sektor industri dan komersial 2,5% atau B2,5 dan sektor pembangkit listrik 0,1% atau B0,1.
Secara bertahap kadar biodiesel meningkat hingga 7,5% pada tahun 2010. Pada periode 2011 hingga 2015 persentase biodiesel ditingkatkan dari 10% menjadi 15%. Selanjutnya pada tanggal 1 Januari 2016, ditingkatkan kadar biodiesel hingga 20% atau B20.
Program Mandatori B20 berjalan baik dengan pemberian insentif dari BPDPKS untuk sektor PSO. Dan mulai 1 September 2018 pemberian insentif diperluas ke sektor non-PSO.
Program pencapuran minyak sawit terhadap BBM Solar kembali ditingkatkan menjadi B30 atau pencampuran 30% biodiesel dengan 70% minyak Solar sejak 1 Januari 2020 lewat alokasi biodiesel sebesar 9,2 juta kL yang dipasok oleh 20 badan usaha.
Sementara pada tahun 2023 ini, pemerintah memberi total alokasi biodiesel mencapai 13,15 juta KL untuk program B35.
Cakupan visi pemanfaatan biodiesel yang semula fokus pada menjaga ketahanan pasokan energi nasional kini melebar seiring meningkatnya pamor tren transisi energi.
Program biodiesel kini menjadi salah satu program prioritas nasional untuk mengurangi emisi sekaligus mengurangi ketergantungan pada energi fosil, khususnya di sektor transportasi.
Selain dari kelapa sawit, sumber minyak untuk bahan bakar nabati juga bisa dihasilkan dari sejumlah tanaman penghasil minyak nabati yang potensial untuk dikembangkan menjadi bahan campuran BBN antara lain kelapa, jarak pagar, kemiri, kemiri sunan, nyamplung, malapari, biji karet, tebu, jagung, singkong dan rumput gajah.
Namun hingga sejauh ini pemerintah masih mengandalkan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku utama untuk mengembangkan bahan bakar nabati.
Ketergantungan kepada komoditas kelapa sawit memang beralasan mengingat sawit dinilai sebagai tanaman yang punya volume paling besar dan paling produktif, sehingga pemanfaatannya sebagai bahan bakar tidak akan mengganggu pasokan sawit yang diperuntukkan untuk pangan dan industri.
Ancaman defisit minyak sawit
Kendati demikian, program biodisel yang mencampurkan BBM solar dengan fatty acid methyl ester (FAME) minyak kelapa sawit dinilai sebagai kebijakan multiobjektif. Kebijakan ini dinilai dapat meminimalisir dampak krisis iklim dan menjaga ketahan energi nasional dengan mengurangi impor solar.
"Intinya kalau mau buat kebijakan biodiesel harus lihat sumber minyak sawit dan harus lihat resikonya terhadap food. Karena preferensinya dibagi tiga, ada untuk eksport penggunaan dalam negeri untuk minyak goreng dan energi biodiesel," kata Ketua LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Alin Halimatussadiah kepada Katadata.co.id pada (6/8).
Dalam kajiannya bertajuk 'Risiko Kebijakan Biodiesel dari Sudut Pandang Indkator Makroekonomi dan Lingkungan' yang terbit pada 2020 lalu, LPEM FEB UI menuliskan program biodiesel memiliki potensi menambah devisa negara apabila impor solar turun dan meningkatnya permintan minyak sawit di dalam negeri.
Akan tetapi, program ini juga berpotensi menurunkan cadangan devisa jika Indonesia kehilangan potensi ekspornya. Kajian tersebut dilakukan dengan tiga skenario pengembangan biodiesel.
Pertama, skenario jika biodiesel turun menjadi B20 sampai tahun 2025. Kedua, adalah skenario yang berjalan saat ini, yakni B30 hingga 2025 dan skenario ketiga dengan program B50 hingga 2025.
Dalam skenario pertama, Indonesia akan mengalami defisit minyak sawit sebesar 1,26 juta ton jika hanya menggunakan B20 sampai 2025. Kemudian pada skenario kedua, terjadi kekurangan 40 juta ton minyak kelapa sawit jika Indonesia menggunakan B30 hingga 2025.
Selanjutnya pada skenario ketiga Indonesia juga akan mengalami defisit minyak sawit sebesar 108, 63 juta ton apabila pemerintah mengejar ambisi untuk B50 hingga 2025.