Sri Lanka Kerek Tarif Listrik 66% Demi Bantuan IMF untuk Atasi Krisis
Sri Lanka menaikkan tarif listrik hingga 66% mulai Kamis (16/2). Langkah ini diambil pemerintah negara yang tengah dilanda krisis ekonomi dan keuangan terburuk dalam tujuh dasawarsa terakhir untuk membujuk Dana Moneter Internasional (IMF) agar memberikan bantuan.
Pemerintah Sri Lanka mengakui bahwa kenaikan tarif listrik ini akan semakin menambah beban warga Sri Lanka yang sudah berjuang dengan inflasi yang mencapai 54,2%.
Namun pemerintah hampir tidak mampu melakukan impor penting karena kekurangan devisa dan harus meyakinkan kreditur internasional, salah satunya IMF, bahwa pemerintah berkomitmen menerapkan kebijakan fiskal yang sehat yang disyaratkan.
“Kami tahu bahwa ini akan berat bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin, tetapi Sri Lanka terjebak dalam krisis keuangan dan kami tidak punya pilihan selain bergerak menuju penetapan harga yang mencerminkan biaya,” kata Menteri Energi Kanchana Wijesekera seperti dikutip Reuters.
“Kami berharap dengan langkah ini Sri Lanka semakin dekat untuk mendapatkan program bantuan IMF,” tambah Wijesekera. Adapun besaran kenaikan tarif listrik dikonfirmasi oleh pejabat perusahaan listrik Ceylon Electricity Board.
Wijesekera tidak merinci berapa harga yang akan naik, namun dia berharap bisa menurunkan tarif pada Juli, ketika pemerintah berencana merevisi harga lagi.
Sri Lanka berada di tengah-tengah krisis keuangan terburuknya dalam tujuh dasawarsa dan harus menempatkan keuangan publiknya yang terlilit hutang besar-besaran untuk membuka pinjaman IMF senilai US$ 2,9 miliar yang disetujui pada bulan September.
Wijesekera mengatakan kenaikan harga akan membantu kementerian ketenagalistrikan mengimbangi kesenjangan yang disebabkan oleh penghentian subsidi pemerintah, dan juga membantu pemerintah mengelola kontrak bahan bakar jangka panjangnya dengan lebih baik.
Protes massa terhadap salah urus ekonomi mendorong mantan Presiden Gotabaya Rajapaksa dari kekuasaan tahun lalu setelah ribuan orang mengambil alih kediaman resmi dan kantornya.
Sejak mengambil alih pada bulan Juli, Presiden Ranil Wickremesinghe dengan putus asa mencari dukungan dari kreditor internasional, khususnya IMF.