Mengenal Triga-Mark II, Pelopor Reaktor Nuklir RI Warisan Soekarno
Pemerintah terus menggencarkan kampanye soal rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) melalui pembentukan Majelis Tenaga Nuklir yang tercantum di dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Rencana lebih jauh juga disuarakan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) yang menargetkan operasi komersial reaktor nuklir Thorcon Molten Salt Reactor 500 Megawatt atau TMSR500 pada 2032 di Pulau Gelasa, Bangka Belitung. Rencana pembangunan TMSR500 merupakan hasil kerja sama pemerintah dengan PT ThorCon Power Indonesia senilai Rp 17 triliun.
Jauh sebelum rencana pembagunan TMSR500, Indonesia sejatinya mengoperasikan reaktor nuklir pertama kali pada 20 Februari 1965. Proyek reaktor nuklir bernama Triga-Mark II itu ditujukan untuk keperluan riset dan dibangun di Bandung pada 9 April 1961 sesuai dengan persetujuan yang ditandatangani pada 21 September 1960 di Washington D.C. Kerja sama bilateral antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia tersebut merupakan kolaborasi pemakaian teknologi nuklir untuk maksud-maksud damai.
Melansir buku bertajuk Nuklir Sukarno Kajian Awal atas Politik tenaga Atom Indonesia 1858-1967 (2021) yang ditulis oleh Teuku Reza Fadeli, pengerjaan reaktor nuklir ini diketuai oleh Djali Ahimsa sebagai Kepala Lembaga Tenaga Atom (LTA). Melalui amanat Presiden Soekarno, Djali memimpin proyek pengerjaan sekaligus menyerahkannya kepada Institut Teknologi Bandung. Adapun LTA merupakan cikal bakal dari Badan Tenaga Atom Nasional atau BATAN.
Dengan adanya pembangunan reaktor Triga-Mark II, Soekarno berharap Indonesia memiliki kemajuan teknologi nuklir tanpa adanya niat untuk mengusik perdamaian dunia. Dalam pidato acara peletakan batu pertama pada 9 April 1961, Soekarno menegaskan bahwa Indonesia mengedepankan sifat perdamaian dalam mengembangkan proyek tenaga atomnya.
"Kita pun mengetahui, mempergunakan atom; mempergunakan segala hal jang nuclear tidak untuk perang, tidak untuk 'destruction of mankind', tetapi untuk keselamatan manusia Indonesia dan manusia di seluruh dunia," kata Soekarno.
Reaktor Triga-Mark II memiliki kapasitas 250 kilowatt (KW). Triga-Mark II dibangun dengan dana bantuan Pemerintah AS sebesar US$ 350.000. Triga merupakan akronim dari Training, Research, and Isotop production by General Atomic. Mark II merujuk pada nama reaktornya, sedangkan General Atomic adalah pabrikan yang bermarkas di AS.
Berdasarkan data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), rezim pemerintahan Soeharto meningkatkan daya reaktor Triga-Mark II menjadi menjadi 1000 kW atau setara dengan 1 Mega Watt (MW) pada 4 Desember 1971. Peningkatan daya reaktor itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan radioisotop yang semakin meningkat.
Kapasitas daya reaktor Triga-Mark II kembali ditingkatkan menjadi 2 MW yang diresmikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sekaligus mengubah nama Reaktor TRIGA Mark II menjadi Reaktor TRIGA 2000 Bandung.
Masih merujuk pada Nuklir Sukarno Kajian Awal atas Politik tenaga Atom Indonesia 1858-1967, minat Indonesia terhadap nuklir dipicu oleh percobaan bom hidrogen yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Atol Enewetak, Samudera Pasifik, pada 1952. Debu radioaktif yang terbawa angin dan air menimbulkan dampak pencemaran dan kesehatan bagi lingkungan sekitar.
Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia mendirikan suatu panitia lintas departemen yang bertugas untuk mengadakan penelitian mengenai radioaktivitas di wilayah laut, udara, dan daratan Indonesia yang mungkin terdampak oleh ledakan di Samudera Pasifik seperi Manado, Ambon dan Timor.
Panitia ini juga bertugas melakukan penelitian-penelitian ilmiah mengenai teknologi nuklir dan potensi yang dimilikinya untuk melakukan berbagai kegiatan yang bermaksud damai. Panitia itu diketuai oleh Menteri Kesehatan RI saat itu yakni Dr. Gerrit Augustinus Swabessy yang memiliki pengalaman di bidang radiologi. Kelompok itu dinamakan Panitia negara untuk Penjelidikan Radioaktivitet dan Tenaga Atom (PPRTA).
Adapun hasil kerja PPRTA menyampaikan tidak ada jatuhan radioaktif yang berhabaya di wilayah Indonesia. Selain mendapati hasil temuan tersebut, berkumpulnya para ahli di satu badan itu memicu minat akan riset nukli secara lebih lanjut. PPRTA merupakan lembaga riset nuklir pendahulu LTA.
Triga-Mark II merupakan reaktor tipe kolam yang bisa dipasang tanpa gedung, dan didesain untuk digunakan institusi ilmiah dan universitas untuk keperluan pendidikan tinggi, riset swasta pribadi, dan produksi isotop.