Menteri KKP Klaim Aturan Ekspor Pasir Laut Jamin Status Reklamasi Aman
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan pemerintah memiliki alasan kuat di balik penerbitan regulasi pengelolaan hasil sedimentasi laut. Menurut Sakti pemerintah perlu mengatur pengerukan pasir laut secara progresif agar pengadaan material reklamasi tidak bersumber dari kegiatan pengerukan ilegal.
Sakti menjelaskan secara umum aturan pengelolaan hasil sedimentasi laut ditujukan untuk menghentikan aktivitas ilegal penambangan pasir laut untuk proyek reklamasi di dalam negeri. Menurut dia pemerintah kini banyak mengerjakan proyek reklamasi di sejumlah daerah seperti di pesisir perairan Banten, Jakarta, Jawa Timur, Kepulauan Riau hingga penambahan daratan di wilayah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur.
"Ada keluhan dari mitra kerja di Banten banyak sekali reklamasi, itu dari mana bahannya? Ini yang pemerintah coba atur. Bahan reklamasi harus dari sedimentasi supaya tidak merusak lingkungan," kata Trenggono di Gedung Nusantara II DPR Jakarta pada Senin (12/6).
Pada kesempatan tersebut Sakti juga membantah wacana penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut sebagai instrumen untuk menggaet investasi Singapura di IKN Kalimantan Timur melalui ekspor pasir laut. Menurut dia, PP diterbitkan untuk kepentingan yang lebih besar.
“PP itu mengatur ekspor apabila kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi," ujar Trenggono.
Persoalan izin pengelolaan pasir laut ramai diperbincangkan setelah pemerintah kembali membuka keran ekspor setelah 20 tahun dihentikan. Aturan itu disetop pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Terbitnya PP Nomor 26 tahun 2023 itu sekaligus mencabut SK Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Pasal 10 PP 26 mengatur bahwa pelaku usaha yang ingin melakukan ekspor wajib memiliki izin pemanfaatan pasir laut.
Dengan aturan yang baru, penjualan pasir laut hanya bisa dilakukan setelah mendapatkan izin usaha pertambangan untuk penjualan dari Menteri ESDM. Sedangkan pelaku usaha yang mengajukan permohonan izin harus bergerak di bidang pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut.
Regulasi tersebut juga mengatur ekspor pasir laut hanya bisa dilakukan selama kebutuhan dalam negeri terpenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut tertulis dalam Pasal 9.
Ancaman Kerusakan Lingkungan
Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menganggap langkah pemerintah untuk kembali menerbitkan izin ekspor pemanfaatan pasir laut dinilai dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan ekologi yang lebih luas. Bahkan Fahmy menilai aturan baru itu membahayakan bagi masyarakat pesisir laut. Menurut Fahmy pengerukan pasir laut secara serampangan dapat menenggelamkan pulau-pulau di sekitar lokasi penambangan pasir laut.
"Keuntungan ekonomi yang diterima Indonesia atas ekspor pasir laut itu tidak setimpal dengan kerusakan lingkungan dan ekologi yang akan terjadi," kata Fahmy dalam keterangan tertulis Rabu (31/5).
Fahmy memandang instrumen PP tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut tak menjamin kegiatan pengerukan pasir laut berjalan secara ramah lingkungan. Menurutnya, pengusaha yang memperoleh izin ekspor akan mengejar profit sebesar-besarnya dengan melakukan pengerukan pasir laut secara ugal-ugalan.
"Sungguh sangat ironis, pada saatnya area daratan Singapura meningkat pesat, sementara daratan Indonesia semakin mengerut karena banyak pulau yang tenggelam sebagai dampak pengerukan pasir laut yang berkelanjutan," kata Fahmy.