Penetapan Satu Harga Elpiji 3 Kg dinilai akan Tambah Beban Pertamina
Pemerintah berencana mengeluarkan regulasi terkait penentuan harga eceran tertinggi atau HET elpiji bersubsidi tabung 3 kilogram (kg) secara nasional.
Namun rencana ini dinilai dapat menimbulkan beban keuangan tambahan bagi Pertamina selaku badan usaha penugasan penyediaan dan pendistribusian elpiji bersubsidi.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa konsep satu harga pada distribusi BBM bersubsidi Pertalite dan Solar cenderung sulit diaplikasikan pada penyaluran elpiji 3 kg.
Alasannya, rantai pasok pada penyaluran elpiji 3 kg lebih panjang daripada penyaluran BBM bersubsidi yang langsung disetorkan kepada SPBU.
"Struktur pasar distribusi elpiji 3 kg lebih kompleks karena melibatkan banyak agen swasta sebelum sampai ke konsumen akhir," kata Bhima kepada Katadata.co.id melalui sambungan telepon pada Selasa (20/6).
Menurutnya, apabila pemerintah menetapkan HET elpiji secara nasional, Pertamina harus siap untuk menanggung beban distribusi dan logistik yang panjang tersebut.
Akibatnya, pemerintah akan mengeluarkan biaya lebih untuk subsidi ganda, yakni subsidi eksisting elpiji 3 kg dan subsidi ongkos logistik. Makin panjang alur distribusi, harga elpiji bersubsidi akan makin tinggi.
"Karena ritel atau agen tentu tidak ingin berkurang marginnya. Berarti pemerintah yang harus menanggung biaya distribusi itu ke Pertamina lewat kompensasi, dan itu berat," ujar Bhima.
Alih-alih menetapkan HET nasional, Bhima mendorong pemerintah untuk menyelesaikan akar disparitas harga elpiji bersubsidi, yakni memperpendek rantai distribusi dengan membangun infrastruktur khusus untuk distribusi elpiji. Langkah tersebut diharapkan mampu menurunkan biaya logistik.
"Semua pasti ingin harga elpiji 3 kg sama, terutama di luar Pulau Jawa. Itu yang diharapkan oleh masyarakat. Hanya saja caranya tidak langsung dengan mematok HET nasional," kata Bhima.
Sebelumnya, Kementerian ESDM tengah merumuskan regulasi untuk menentukan besaran HET elpiji tabung 3 kg secara nasional. Ini bertujuan untuk menyiasati penyaluran elpiji melon yang kerap melebihi kuota tahunan.
Lonjakan permintaan gas bersubsidi disebabkan oleh lebarnya disparitas harga jual antara elpiji tabung melon dan elpiji non subsidi yang mencapai Rp 17.750 per kg.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan tingginya harga eceran elpiji 3 kg di sejumlah daerah disebabkan oleh rantai distribusi yang panjang. Makin panjang alur distribusi, harga elpiji bersubsidi akan makin tinggi.
"Memang yang akan kami evaluasi sekarang adalah kewajaran daripada HET-nya. Pemerintah juga ingin agar harganya bisa wajar untuk diterima pada masyarakat," kata Arifin di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (16/6).
PT Pertamina melaporkan hitungan serapan elpiji bersubsidi 3 kg hingga akhir tahun ini akan berada di angka 8,22 juta metrik ton. Besaran tersebut lebih tinggi 2,7% dari alokasi kuota tahunan sejumlah 8 juta metrik ton.
Penentuan HET saat ini ditentukan oleh pemerintah daerah (Pemda) melalui amanat Pasal 24 ayat 4 Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 26 tahun 2009 tentang penyediaan dan pendistribusian Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Pada pasal tersebut, penyesuaian HET mengacu pada kondisi daerah, daya beli, dan margin yang wajar serta sarana dan fasilitas penyediaan dan pendistribusian elpiji. Melalui regulasi tersebut Pemda juga memiliki kewenangan untuk menyesuaikan harga jual elpiji kg.
Kementerian ESDM akan meninjau sejumlah daerah terpencil, terluar dan tertinggal atau 3T untuk memangkas rantai distribusi yang panjang. Arifin pun mendorong Pertamina agar lebih ketat dalam mengawasi distribusi elpiji bersubsidi di remote area. Khususnya distribusi pada tingkat depo. "Misalnya di NTT yang akan kami evaluasi kewajaran HET-nya," ujar Arifin.
"Sebetulnya untuk distribusi barang subsidi ada juga yang sejenis seperti pupuk. Mengapa pupuk bisa langsung ke kelompok petani dengan biaya tidak mahal. Pemerintah ingin elpiji juga seperti itu," ujarnya menambahkan.