KLHK Beberkan Risiko Bangun CCUS Migas: Lingkungan hingga Kesehatan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memaparkan risiko yang timbul dari implementasi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) di lapangan migas.
Fasilitas CCS dianggap sebagai teknologi yang dibutuhkan oleh industri sektor hulu migas saat memasuki masa adaptasi transisi energi.
Staf Ahli Menteri Bidang Energi KLHK Haruni Kirisnawati mengatakan penyimpanan karbon jangka panjang di bawah tanah berpotensi menimbulkan risiko kesehatan dan risiko lingkungan berupa pencemaran air tanah. Ini terutama ketika terjadi kebocoran selama penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan karbon dioksida atau CO2.
"CCS dapat mengurangi mengurangi emisi karbon di tingkat regional, di sisi lain ada beberapa hambatan dan risiko perlu diatasi," kata Haruni pada forum the 4 th International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas Industry (ICIUOG) 2023 di Nusa Dua, Bali pada Kamis (21/9).
Berdasarkan pertimbangan di atas, KLHK merekomendasikan sejumlah stategi untuk mencegah terjadinya kebocoran pada selama proses penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan pada fasilitas CCS.
Haruni mengatakan pelaksanaan CCS harus dilakukan secara hati-hati untuk memastikan hal tersebut tidak berdampak negatif terhadap lingkungan, ekosistem, dan masyarakat.
Dia melanjutkan, pengembangan CCS harus dilakukan dengan cara yang aman, bukan mengganggu sumber daya air dan kualitas tanah, serta mempertimbangkan perlindungan lingkungan hidup dan ekosistem.
"Proyek CCS dapat diprioritaskan di wilayah terdegradasi atau bekas pertambangan, dengan mempertimbangkan potensi dampak terhadap lingkungan dan kesehatan manusia," ujar Haruni.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menargetkan 15 proyek teknologi energi bersih penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization and storage (CCUS) dan CCS beroperasi komersial pada 2030.
Proyek yang dikerjakan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) maupun PT Pertamina itu diperkirakan memiliki nilai investasi mencapai US$ 7,97 miliar atau sekitar Rp 122,6 triliun. Hal itu dilakukan sebagai strategi pemerintah untuk meminta industri hulu migas agar menerapkan upaya penurunan emisi.
"Industri hulu migas harus menerapkan strategi penurunan emisi termasuk penerapan teknologi energi bersih seperti CCS/CCUS," kata Arifin pada forum serupa.