Bisakah Rice Cooker Gratis Atasi Oversupply Listrik atau Gantikan LPG?
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2023, sebagai landasan hukum program pembagian penanak nasi listrik atau rice cooker gratis yang dimulai tahun ini.
Melalui program ini pemerintah akan membagikan 500 ribu unit rice cooker secara percuma yang diharapkan dapat meningkatkan konsumsi listrik sebesar 140 gigawatt-jam (GWh) serta menghemat penggunaan LPG sekitar 29 juta kilogram (kg) atau sekitar 9,7 juta tabung 3 kg.
Kementerian ESDM menulis, program ini bertujuan untuk menjamin akses energi bersih yang terjangkau, andal dan berkelanjutan. Selain itu juga untuk mengurangi impor LPG yang digunakan untuk memasak, meningkatkan konsumsi listrik perkapita, serta mendukung teknologi memasak yang lebih bersih.
Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai bahwa program pembagian rice cooker gratis tidak efektif untuk mengatasi masalah kelebihan pasokan listrik ataupun menghemat konsumsi LPG.
“Blunder, sebaiknya dibatalkan. Rata-rata sudah punya rice cooker, nanti akan duplikasi saja, hanya akan membebani APBN,” kata Fahmy kepada Katadata.co.id, Senin (9/10). Dia menilai pemerintah tidak akan mencapai tujuan dari program ini.
“Rice cooker memang menggunakan energi bersih, tetapi tidak memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi karbon karena kapasitasnya sangat kecil. Apalagi, listrik yang digunakan dihasilkan dari pembangkit listrik yang masih menggunakan energi kotor batu bara,” ujarnya menambahkan.
Menurut Fahmy, rice cooker hanya bisa digunakan untuk menanak nasi, mengukus dan memanaskan makanan. Sedangkan memasak lauk dan lainnya masih menggunakan kompor gas dengan LPG. Oleh karena itu, program pembagian rice cooker tidak efektif sama sekali dalam menggantikan LPG.
Fahmy menjelaskan, jika ingin mengatasi oversupply listrik pemerintah sebaiknya mendorong industri untuk menggunakan listrik dari PLN. “Tak bisa harapkan konsumen rumah tangga. Maka yang harus dikejar industri, ini momentumnya juga tepat, beberapa pembangkit listrik yang dimiliki industri tutup, ini peluang bagi PLN,” ujarnya.
Senada dengan Fahmy Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa program pembagian rice cooker merupakan hal yang tidak masuk akal.
“Jadikan sasarannya rumah tangga miskin atau rentan miskin, pertanyaan mendasarnya apa yang mau dimasak pakai alat masak listrik? Berasnya aja sekarang kan mahal harganya. Orang masalahnya krisis beras kok dikasih alat masak listrik,” tutur Bhima dihubungi secara terpisah.
“Orang miskin yang akan dikasih alat masak listrik itu selama ini memang berhak menggunakan LPG 3 kg gitu. Ngapain diubah lagi ngapain harus punya alat listrik baru lagi, toh mereka bukan tidak tepat sasaran,” kata Bhima lagi .
Bhima juga menyampaikan bantuan alat masak listrik atau AML ini merupakan beban baru. Sebab dengan menerima AML ini, masyarakat juga harus berjaga-jaga menyiapkan uang lebih untuk keperluan service atau perbaikan.
“Bagaimana soal servis ketersediaan sparepart? Berarti rumah tangga miskin harus menyiapkan uang lebih gitu kemudian ini kan hanya memindah dari yang pakai LPG akhirnya pengeluarannya tetap sama aja karena pindahnya menggunakan alat masak listrik,” kata dia.
Terkait tujuan pemerintah yang ingin mengatasi oversupply dengan pemberian rice cooker, Bhima menyebut hal tersebut bukanlah solusi terbaik.
“Solusi terbaik adalah penutupan dini PLTU batu bara, bukan mendorong atau membantu transisi kepada alat masak listrik. Karena ini merupakan langkah pemborosan dari sisi rumah tangga,” ujarnya.