Husky-CNOOC Madura Limited Kaji Pengembangan Teknologi CCS
Husky-CNOOC Madura Limited (HCML), kontraktor kontrak kerja sama pengelola Blok Madura Strait, tengah mengkaji pengembangan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) atau penangkapan dan penyimpanan karbon. Saat ini perusahaan tengah mencari konsultan untuk melaksanakan studi tersebut.
“Kami tengah berusaha mengembangkan teknologi CCS, mengingat teknologi tersebut bisa mengurangi emisi karbondioksida,” ujar WHP Superintendent BD Field HCML Redhata Rangkuti, saat ditemui di Kantor HCML, Madura, Rabu (1/11).
Redhata mengatakan, perusahaan lebih memilih untuk mengkaji pengembangan CCS dibandingkan dengan Carbon Capture Utilization Storage (CCUS) karena penggunaan CCS sejauh ini cocok dengan kondisi lapangan gas BD yang tekanannya relatif masih tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan CCUS dirasa belum cocok.
“Kebetulan sumur yang pertama kali produksi di lapangan BD tekanannya paling tinggi, sehingga kalau kita lakukan terobosan itu kita bisa terapkan teknologi CCS dulu,” kata dia.
Oleh sebab itu, perusahaan masih membutuhkan waktu untuk melakukan studi lebih dalam terkait pengembangan teknologi CCS guna mengetahui jumlah volume gas yang akan menjadi flare. Dia menuturkan pihaknya juga terus melakukan koordinasi dengan tim engineering terkait seberapa cocok teknologi CCS bisa diterapkan di wilayah kerja mereka.
“Jadi ini benar-benar kita lakukan dengan sangat hati-hati, sehingga kalau nanti teknologi CCS itu bisa diterapkan, tidak terjadi kesalahan,” kata Redhata.
Teknologi CCS Masih Berkutat pada Keekonomian
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa sebelumnya berpendapat penelitian mengenai carbon capture, utilization, and storage (CCUS) sudah cukup lama dilakukan di Indonesia. Namun, tahapannya masih sekadar riset dan pengembangan (R&D), terutama terkait pemakaian karbondioksida untuk teknologi pengurasan minyak.
Uji coba CCUS dilakukan di lapangan-lapangan migas seperti Gundih, Sukowati, Limau Niru, dan Blok Tangguh. "Yang Sukowati itu proyek Pertamina EP," kata Fabby.
Pertamina telah berhasil menggunakan karbondioksida dari CCS menjadi produk precipitated calcium carbonate (PCC). PCC dapat dimanfaatkan untuk industri kertas, cat dan polimer, makanan, minuman, serta farmasi.
Lapangan Natuna dengan potensi gas 222 triliun standar kaki kubik (TSCF) dan kandungan karbon dioksida 70% dapat memakai CCS. Namun, tantangan teknologinya adalah pada nilai keekonomian.
Banyak faktor yang menentukan nilai besaran investasinya. Namun, sejumlah studi menunjukkan harga karbondioksida dari CCS sekitar US$ 40 hingga US$ 100 per ton.
Selaras dengan hal ini, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan opsi CSS sebenarnya telah masuk pembahasan sejak tahun lalu. Selain masalah keekonomian ada sejumlah tantangan lain dalam pemanfaatannya. Salah satunya, logistik.
Transportasi karbondioksida untuk distribusi ke lapangan yang menerapkan enhanced oil recovery (EOR) juga sangat mahal dan tidak mudah. Selain itu, ternyata tidak semua lapangan cocok menerapkan teknologi EOR yang berulang kali disebut pemerintah dapat menggenjot produksi minyak nasional.
“Jadi, implementasinya pun memiliki tingkat risiko yang tidak kecil. Kebutuhan modalnya pun tidak sedikit,” ujar Moshe.
Beberapa pihak sering membicarakan EOR tapi lupa dengan risiko dan pengembalian investasinya. Yang dibutuhkan adalah teknologi yang ekonomis dalam mengolah karbon dioksida. “Saya yakin sudah ada analisis kelayakannya, seperti opsi re-injeksi CO2 ke dalam tanah," ucapnya.
Tantangan Pengembangan Teknologi CCS
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, terdapat beberapa tantangan dalam menjalankan teknologi CCS. Tantangan tersebut antara lain tata kelola dan regulasi, kerja sama komersial, fiskal yang atraktif dan bersaing, transportasi karbon, teknologi berskala industri, serta pengembangan CCS Hub di Indonesia yang menghubungkan berbagai sumber emisi ke lokasi injeksi di Indonesia.
Di sisi lain, Tutuka menyebutkan bahwa berdasarkan grafik sementara dari penelitian, potensi penyimpanan di sektor minyak dan gas Indonesia sekitar 4,31 gigaton CO2. Potensi kapasitas penyimpanan yang sangat besar itu dapat digunakan lebih cepat untuk mendukung pengurangan emisi.
Selain itu, dia menyebutkan, saat ini Indonesia sudah memiliki 15 proyek kajian CCS/CCUS yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua. Sebagian besar proyek tersebut ditargetkan onstream sebelum 2030, di mana total potensi injeksi CO2 antara tahun 2030 hingga 2035 berkisar 25 hingga 68 juta ton. “Pemerintah bahkan berencana mengembangkan peraturan serta kajian pemetaan penyimpanan CO2 di luar wilayah kerja migas,” ujar Tutuka.