Harga Minyak, Emas, Tembaga Naik Signifikan Jika AS Pangkas Suku Bunga
Goldman Sachs memprediksi harga-harga komoditas energi dan tambang akan meningkat tahun ini didorong oleh penurunan suku bunga oleh bank sentral. Bank investasi yang berbasis di New York, Amerika Serikat (AS), ini melihat potensi kenaikan harga komoditas hingga 15%.
“Suku bunga yang lebih rendah akan membantu pemulihan industri manufaktur dan merangsang permintaan konsumen meski risiko geopolitik terus berlanjut,” tulis analis Goldman Sachs dalam sebuah catatan seperti dikutip Bloomberg, Senin (25/3).
Para analis bank tersebut menyebut bahwa minyak mentah, aluminium, tembaga, dan emas, sebagai beberapa komoditas yang harganya dapat meningkat signifikan tahun ini berkat perubahan prospek ekonomi.
“Kami menemukan bahwa penurunan suku bunga AS di lingkungan non-resesi menyebabkan harga komoditas lebih tinggi, dengan dorongan terbesar pada logam, khususnya tembaga dan emas, diikuti oleh minyak mentah,” tulis mereka.
“Dampak positif terhadap harga cenderung meningkat sejalan dengan waktu, seiring dengan masuknya dorongan pertumbuhan dari kondisi keuangan yang lebih longgar,” kata analis Goldman Sachs.
Namun proyeksi ini bergantung pada penurunan suku bunga oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Namun untuk saat ini, The Fed telah mengisyaratkan pihaknya tidak terburu-buru untuk mulai menurunkan suku bunga. Meski begitu, The Fed telah merencanakan penurunan suku bunga sebanyak tiga kali pada tahun ini.
Sebulan yang lalu, Goldman merevisi perkiraan harga minyaknya menjadi US$ 87 per barel minyak mentah Brent, dari US$ 85, dengan alasan gangguan pengiriman di Laut Merah.
“Stok komersial OECD di darat telah berkurang lebih cepat dari yang diperkirakan karena pengalihan arus dari Laut Merah telah meningkatkan persediaan air,” tulis analis di bank investasi tersebut dalam sebuah catatan pada akhir Februari.
Baru-baru ini, Goldman memperkirakan harga minyak mungkin akan mencapai US$ 100 per barel tahun ini karena permintaan tetap kuat sementara pasokan tambahan dari produsen non-OPEC melambat.
Badan Energi Internasional juga baru-baru ini merevisi perkiraan peningkatan permintaan minyak, dengan alasan situasi Laut Merah yang menciptakan tambahan permintaan bahan bakar.