AS Dinilai Takkan Berani Beri Sanksi Baru Terhadap Ekspor Minyak Iran
Pemerintah Amerika Serikat (AS) dinilai tidak akan berani menjatuhkan sanksi baru terhadap ekspor minyak Iran, yang menjadi sumber utama perekonomian negara tersebut, usai serangan terhadap Israel pada akhir pekan lalu.
Iran meluncurkan sekitar 300 pesawat tanpa awak dan rudal ke wilayah Israel sebagai balasan atas serangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus, Suriah, pada 1 April lalu, yang menewaskan tiga jenderal Iran.
“Serangan rudal dan drone Iran terhadap Israel sepertinya tidak akan mendorong sanksi dramatis terhadap ekspor minyak Iran dari pemerintahan Joe Biden karena kekhawatiran mengenai kenaikan harga minyak dan membuat marah pembeli utama minyak Iran yakni Cina,” kata para analis, seperti dikutip Reuters, Selasa (16/4).
Tak lama setelah Iran melancarkan serangannya terhadap Israel, para pemimpin Partai Republik di DPR AS menuding Presiden Joe Biden gagal mengambil tindakan pencegahan dan mengatakan minggu ini mereka akan merumuskan rancangan undang-undang baru untuk mempertajam sanksi terhadap Iran.
Anggota DPR dari Partai Republik Steve Scalise mengatakan pemerintahan Joe Biden telah mempermudah Iran untuk menjual minyaknya, sehingga negara itu bisa mendapatkan uang untuk mendanai “aktivitas teroris”.
Namun analis menilai ada beberapa hal yang dipertimbangkan pemerintah AS sebelum menjatuhkan penjatuhan sanksi seperti bagaimana mencegah serangan berikutnya di masa mendatang tanpa meningkatkan tensi regional, naiknya harga minyak, dan respons Cina sebagai pembeli minyak Iran.
Washington telah menegaskan bahwa salah satu tujuan utama mereka adalah untuk menjaga agar konflik Gaza antara Hamas dan Israel tidak meluas menjadi perang regional yang lebih luas, dengan tujuan utama untuk menjaga agar Iran tidak terlibat.
Beberapa analis regional mengatakan mereka ragu Biden akan mengambil tindakan signifikan untuk meningkatkan penegakan sanksi AS yang ada untuk menghambat ekspor minyak mentah Iran, yang merupakan sumber utama perekonomian negara tersebut.
“Bahkan jika rancangan undang-undang untuk mempertajam sanksi disahkan, sulit bagi Biden untuk mengambil tindakan atau menegakkan sanksi yang ada atau sanksi baru untuk mencoba mengurangi ekspor minyak Iran dengan cara apa pun yang berarti,” kata Scott Modell, mantan perwira CIA, sekarang CEO Rapidan Energy Group.
Sebelumnya, mantan Presiden AS Donald Trump menerapkan sanksi AS terhadap minyak Iran pada 2018 setelah menarik diri dari kesepakatan internasional mengenai program nuklir Iran. Sebaliknya, Biden menghindari langkah tersebut dengan memberikan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan di Cina, Uni Emirat Arab, dan negara lainnya.
Terlepas dari upaya tersebut, Rapidan memperkirakan ekspor minyak Iran telah menyentuh 1,6-1,8 juta barel per hari (bph), atau mendekati 2 juta bph sebelum sanksi dijatuhkan. Artinya, sanksi tersebut tak berdampak besar terhadap ekspor minyak Iran.
Modell mengatakan, Biden mempertimbangkan dampak sanksi terhadap harga bahan bakar sehingga belum mengambil langkah untuk meningkatkan sanksi. Faktor lainnya yang dipertimbangkan Biden, yaitu hubungan dengan Cina.
Sanksi akan mengacaukan hubungan AS-Cina yang telah coba diperbaiki usai insiden balon pengintai Cina yang ditembak jatuh saat melintasi wilayah AS pada tahun lalu.
Hampir semua minyak Iran yang masuk ke Cina dicap berasal dari Malaysia atau negara-negara Timur Tengah lainnya dan dibawa oleh “armada gelap” berupa kapal tanker tua yang biasanya mematikan transponder mereka ketika memuat di pelabuhan Iran untuk menghindari deteksi.
Spesialis pelacakan kapal tanker, Vortexa Analytics, memperkirakan Cina mengimpor rekor 55,6 juta metrik ton atau 1,11 juta barel minyak mentah Iran per hari pada tahun lalu. Jumlah tersebut mencakup sekitar 90% ekspor minyak mentah Iran dan 10% impor minyak Cina.
Jika AS menjatuhkan sanksi baru, maka Cina sebagai pembeli utama minyak Iran, akan terdampak dan hal itu akan merusak hubungan dua negara yang kerap berselisih tersebut.