Tarik Ulur Pembatasan BBM Subsidi Meski Didorong Sejak Lama
Persoalan pembatasan distribusi bahan bakar minyak (BBM) subsidi menjadi perbincangan dalam seminggu belakangan. Hal ini berawal dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada Kamis (9/7).
Luhut mengatakan bahwa pemerintah bakal memperketat pembelian subsidi mulai 17 Agustus 2024 demi mengurangi penyaluran subsidi BBM yang tidak tepat sasaran.
“Pemberian subsidi yang tidak tepat. Itu sekarang Pertamina sudah menyiapkan. Kami berharap 17 Agustus ini, kami sudah bisa mulai, di mana orang yang tidak berhak dapat subsidi itu akan bisa kami kurangi,” ujar Luhut melalui akun instagramnya, Selasa (9/7).
Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika membahas permasalahan terkait penggunaan bensin yang membuat defisit APBN naik. Namun ia meyakini, dengan pengetatan penerima subsidi, pemerintah dapat menghemat APBN 2024.
Namun pernyataan terkait pembatasan BBM subsidi mulai 17 Agustus mendatang justru ditepis oleh menteri lainnya, yakni Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto hingga Menteri ESDM Arifin Tasrif. Bahkan Presiden Joko Widodo ikut membantah pernyataan Luhut.
Rencana Tiba-Tiba
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan rencana pembatasan BBM subsidi 17 Agustus merupakan suatu yang tiba-tiba dan mengagetkan. Pasalnya, Mulyanto menyebut hal ini belum pernah dibahas oleh Menteri ESDM ataupun BPH Migas.
“Terakhir Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan dalam Rapat Paripurna DPR RI terkait asumsi dasar APBN 2025, Pemerintah berencana melaksanakan pembatasan BBM bersubsidi pada APBN 2025,” ujar Mulyanto saat dihubungi Katadata.co.id pada Rabu (17/7).
Mulyanto menilai, pembatasan BBM dinilai perlu ketika Indonesia menghadapi lonjakan harga minyak mentah akibat konflik Geopolitik dunia. Pembatasan ini menurutnya lebih masuk akal daripada pemerintah menaikkan harga BBM subsidi yang akan menambah beban masyarakat.
“Pembatasan BBM bersubsidi untuk orang yang tidak mampu, agar semakin tepat sasaran, bukan hanya memberikan dampak penghematan terhadap anggaran, namun juga terkait dengan aspek keadilan. Masa mobil mewah masih menyedot BBM bersubsidi? Ini kan tidak adil,” kata dia.
Senada dengan Eddy, Mulyanto juga menyampaikan bahwa DPR telah mengusulkan agar diterapkan pembatasan dan pengawasan distribusi BBM bersubsidi secara komprehensif. Selain pembatasan, maka sistem pengawasan BBM bersubsidi juga harus diperketat.
Guna memaksimalkan pembatasan BBM, Eddy menekankan kembali perlunya penyelesaian Revisi Perpres 191. Terlebih dia menyebut regulasi ini hanya perlu mengubah dua pasal saja.
“Satu pasal yang mungkin akan menjelaskan kriteria penerima atau kriteria mereka yang berhak membeli BBM bersubsidi itu. Pasal kedua mungkin dicantumkan mengenai sanksi sanksi terhadap mereka yang tetap membeli BBM bersubsidi atau tetap menjual BBM bersubsidi kepada yang tidak berhak,” ucapnya.
Selain regulasi, Eddy juga menyoroti bagaimana komunikasi pemerintah terkait rencana pembatasan ini. Dia mengatakan pemerintah seharusnya dapat menyampaikan rencana ini secara jelas, satu suara dan disertai sosialisasi kepada masyarakat.
Dia menyampaikan, jika rencana ini disampaikan tidak secara utuh maka akan menyebabkan kebingungan dan keresahan masyarakat pengguna BBM subsidi seperti pengendara sepeda motor, angkutan umum, hingga ojek online.
“Bisa jadi mereka berpandangan bahwa dengan adanya informasi yang disampaikan simpang siur itu mereka tidak boleh lagi membeli BBM bersubsidi ke depannya padahal tidak demikian, mereka tetap berhak,” kata dia.
DPR Minta Dibatasi Sejak 3 Tahun Lalu
Wakil Ketua Komisi VII, Eddy Soeparno mengatakan saat ini urgensi pembatasan BBM subsidi sudah sangat tinggi. DPR bahkan telah menyampaikan kepada pemerintah untuk merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak sejak tiga tahun lalu.
“Agar kami bisa meregulasi ulang siapa saja yang berhak untuk menerima BBM subsidi. Sebab, mayoritas konsumen BBM subsidi adalah masyarakat mampu,” kata Eddy saat dihubungi Katadata.co.id pada Rabu (17/7).
Pemerintah menetapkan subsidi untuk BBM setiap tahunnya yang terdiri dari minyak solar dan minyak tanah. Selain subsidi, pemerintah juga memberi penugasan khusus kepada Pertamina untuk menyediakan BBM jenis Pertalite yang dipatok Rp 10.000 per liternya.
Eddy menyebut, jumlah konsumsi Pertalite di Indonesia mencapai 80% dari total konsumsi BBM nasional. Memang, Pertamina dan pemerintah sudah membatasi pembelian Pertalite melalui aplikasi My Pertamina.
Namun, Eddy menyebut skema pembatasan ini bisa diikuti oleh masyarakat asalkan mendaftar pada aplikasi tersebut. Sedangkan dia mengatakan pembatasan yang diperlukan saat ini tidak hanya dari segi volume namun juga dari segi kriteria pembeli.
“Jadi kami berharap itu bisa segera dilaksanakan karena melihat pemberian subsidi BBM yang tidak tepat sasaran sehingga APBN kita terbuang justru untuk membiayai masyarakat mampu,” ujarnya.
Kondisi BBM Indonesia
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan, kondisi BBM Indonesia saat ini menghadapi triple hit atau tiga pukulan sekaligus.
Pukulan pertama, terkait pergerakan harga minyak mentah dunia yang mempengaruhi gejolak harga minyak mentah Indonesia (ICP). Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 ICP ditetapkan US$ 82 per barel dan kondisi saat ini pergerakannya sudah mendekati batas.
Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa pada Juni lalu harga rata-rata ICP berada di US$ 79,31 per barel. Namun, pada April lalu, rata-rata ICP pernah mencapai US$ 87,61 per barel, melampaui US$ 5 dolar dari target APBN.
“Jadi harga crude dunia yang berimplikasi atau berpengaruh terhadap kenaikan ICP,” kata Sugeng kepada Katadata.co.id pada Rabu (17/7).
Pukulan kedua, Sugeng menyebut berasal dari kondisi penguatan nilai rupiah terhadap dolar. Dia menyebut pada APBN 2024 kurs hanya dipatok Rp 15.500 per dolar, namun hinggi nilai tukar rupiah sudah melampaui Rp 16.000/dolar.
Pukulan yang ketiga berasal dari kinerja lifting atau produksi minyak bumi domestik yang terus menurun.Dia menyebut, pada APBN 2023 target lifting minyak ditetapkan 635.000 barel per hari (bph) dan dipastikan tidak tercapai. Di 2024 pemerintah kembali menetapkan target lifting sebesar 605.000 bph dan tidak tercapai.
“Terlebih upaya untuk menekan konsumsi BBM belum berhasil karena penggunaan kendaraan listrik juga belum signifikan dibandingkan dengan permintaan atau kenaikan BBM yang terus naik. Maka dari harga BBM memang harus mendapat perhatian khusus apakah mau naik atau tidak naik, nanti dihitung implikasinya,” ujarnya.
Di Antara Beban APBN dan Daya Beli Masyarakat
Berbeda dengan dua anggota Komisi VII DPR RI, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan urgensi pembatasan subsidi BBM dilakukan untuk memberikan ruang fiskal yang lebih bagi pemerintahan Prabowo.
Hal ini dilakukan karena adanya kekhawatiran batasan defisit anggaran tahun ini akan melebar hingga 2,7%. “Artinya sangat mungkin dengan berbagai program prioritas Prabowo ke depan, defisit anggarannya bisa menyentuh level 3%, termasuk makan bergizi gratis dan juga melanjutkan IKN misalnya,” kata Bhima kepada Katadata.
Bhima menyebut, jika pemerintah saat ini tidak membatasi subsidi energi maka dikhawatirkan program-program ke depan termasuk warisan Pemerintahan Presiden Jokowi tidak akan bisa diselesaikan, karena terkendala dana.
Namun dia menyebut, wacana soal BBM ini memang selalu muncul setiap 5 tahun sekali pada awal pemerintahan baru. “Masalahnya konteks tekanan daya beli masyarakat saat ini sedang berat, jadi pemerintah tidak bisa hanya egois berpikir soal defisit APBN yang dikelola tapi juga bagaimana efek nanti pada kelas menengah rentan,” ujarnya.
Bhima juga menyebut, saat ini juga terjadi permasalahan soal banyaknya kelas menengah rentan yang tidak masuk di dalam jaring pengaman sosial. Padahal menurutnya kelas menengah rentan ini sangat sedikit di atas garis kemiskinan namun golongan ini bukan orang kaya.
Jadi golongan masyarakat ini bukan termasuk orang yang dianggap sangat mampu namun faktanya, kelompok ini salah satu pemakai BBM subsidi yang paling besar.
“Pembatasan yang seharusnya dilakukan dengan tegas adalah kebocoran-kebocoran solar subsidi yang terjadi pada pertambangan dan perkebunan skala besar, terutama di luar pulau Jawa. Pemerintah juga harus penegakan hukum sanksi berat bahkan sampai pencabutan izin perusahaan,” ucapnya.
Sebab menurutnya, jika pembatasan BBM subsidi ini disasarkan untuk golongan retail, dan masyarakat golongan rentan dikhawatirkan akan menimbulkan efek domino.
“Bisa sampai ke inflasi, daya beli turun dan mengganggu konsumsi rumah tangga. Itu yang harus hati-hati jaring pengaman sosial kita kecil tidak cukup untuk menahan gejolak efek pembatasan BBM bersubsidi,” kata dia.