SKK Migas: Kebijakan Gas Murah Industri jadi Penyebab PNBP Turun
SKK Migas mengatakan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) atau gas murah industri menjadi salah satu penyebab turunnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor migas.
Kebijakan ini menetapkan harga gas dari hulu US$ 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan industri hulu migas harus mendukung kebijakan HGBT.
“Maka kebijakan penurunan harga gas harus dilakukan, itu salah satu yang membuat penerimaan kami jadi lebih rendah. Tapi HGBT kan memang harus dilakukan karena itu kebijakan pemerintah,” kata Dwi saat ditemui di Jakarta pada Rabu (14/8).
Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan migas hingga Juli 2024 mencapai Rp 64,5 triliun atau turun 6,4% secara tahunan akibat penurunan lifting minyak bumi. “Dalam setahun kami berkontribusi untuk penurunan harga gas sekitar Rp 25-30 triliun,” ujarnya.
Anjloknya lifting ini diakibatkan tertundanya onstream proyek hulu migas dan penyusutan produksi alamiah atau natural decline dari lapangan migas yang cukup tinggi, sejalan dengan fasilitas produksi migas yang menua.
“Sekarang produksi minyak kita masih struggle untuk bisa bertambah, tapi gas sudah naik produksinya. Kalau kita bicara (produksi secara) oil equivalent sekarang sudah mulai naik,” ucapnya.
Selain itu, Dwi mengatakan penurunan penerimaan migas juga dipengaruhi alokasi produksi gas yang saat ini sebanyak 65-70% dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Karena itu kebijakan harga gas untuk domestik sangat pengaruh terhadap PNBP,” kata dia.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat realisasi PNBP mencapai Rp 338 triliun per Juli 2024, setara 68,7% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 sebesar Rp492 triliun.
Namun, realisasi itu terkontraksi sebesar 5% dibandingkan dengan kinerja periode yang sama di 2023 sebesar Rp 355,7 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Agustus 2024 menyampaikan melambatnya kinerja PNBP disebabkan oleh menurunnya penerimaan sumber daya alam (SDA) migas maupun nonmigas.
Selain itu Sri Mulyani mengungkapkan realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.045,32 triliun hingga Juli 2024. Hanya saja penerimaan pajak tersebut anjlok 5,79% jika dibandingkan Juli 2023 sebesar Rp 1.109,1 triliun.
“Akumulasi perkembangan penerimaan pajak sudah 52,56% dari target APBN atau sebesar Rp 1.045,32 triliun," kata Sri Mulyani saat konferensi pers APBN KiTA, Selasa (13/8).
Penurunan tersebut disebabkan terkontraksinya pajak penghasilan atau PPh migas sebesar 13,21% menjadi Rp 39,32 triliun. Angka tersebut menunjukan sekitar 51,49% dari target penerimaan tahun ini.