Disebut Luhut Akan Ditutup, Mungkinkah Jawa Tanpa PLTU Suralaya?

Sorta Tobing
15 Agustus 2024, 17:18
Suasana di PLTU Suralaya, Kota Cilegon, Banten, Kamis (15/8/2024).
ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto/gp/foc.
Suasana di PLTU Suralaya, Kota Cilegon, Banten, Kamis (15/8/2024).
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU Suralaya di Banten akan ditutup. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut rencana ini demi menekan polusi udara di Jakarta.

"Kami (akan) rapatin nanti yang di PLTU Suralaya itu sudah banyak polusinya, sudah beroperasi lebih dari 40 tahun," kata Luhut di Jakarta, Rabu (14/8). 

Merespon hal itu, Menteri Energi dan Sumber Daya MIneral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui PLTU di wilayah Cilegon tersebut menghasilkan emisi yang cukup tinggi. "Memang berat tuh emisi di sana. Banyak industri dan pembangkitnya gede," ucapnya. 

Namun, untuk menutupnya perlu pertimbangan matang. Pemerintah harus mencari sumber energi baru terbarukan alias EBT sebagai pengganti pembangkit baru bara.

Masalahnya, di Jawa tidak ada energi hijau yang cukup besar untuk dapat memasok pembangkit sebesar PLTU Suralaya. Alternatifnya, menurut Arifin, harus ada sambungan transmisi dari Sumatera untuk mendukung pasokan EBT.  

Infrastruktur yang baikmenjadi kunci agar energi-energi hijau dapat dimanfaatkan untuk mengganti PLTU yang akan dipensiunkan. "Kalau tidak ada transmisi tentu tidak akan bisa masuk energi baru," kata Arifin. 

Profil PLTU Suralaya

Rencana untuk mematikan PLTU Suralaya bukanlah hal baru. Pemerintah sudah lama ingin melakukan pensiun dini pembangkit tersebut. Beberapa kali pula pembangkit ini dituding menjadi biang kerok polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.

Pada September tahun lalu, PLN sampai menurunkan kapasitas produksi pembangkit tersebut untuk memperbaiki tingkat polusi udara Jakarta jelang Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT ASEAN. Sebagai gantinya, perusahaan meningkatkan keandalan pembangkit listrik tenaga gas dan uap alias PLTGU Muara Tawar dan Muara Karang. 

Melansir dari laman resmi PLN, PLTU Suralaya dibangun pada 1984 dengan dua unit pembangkit. Kini jumlahnya pembangkitnya mencapai delapan unit. Total kapasitasnya mencapai 3.440 megawatt dan menyumbang 17% kebutuhan listrik Jawa-Bali.  

Sejak 2000, pembangkit batu bara ini tercatat beberapa kali mengalami pemadaman. Pertama pada 2022 yang membuat listrik Jawa-Bali mati selama dua hari. Peristiwa ini bahkan disebut sebagai kejadian blackout terparah dalam sejarah Indonesia. 

Tiga tahun berikutnya terjadi kejadian serupa terjadi lagi. Meski durasinya hanya tiga jam, namum dampaknya hingga ke 120 juta penduduk. Pada 2009, 2013, dan 2019 gangguan di PLTU Suralaya kembali terjadi.

Keinginan untuk menutup pembangkit tersebut sebenarnya tak sejalan dengan rencana kelistrikan pemerintah. Sebab, pada Januari 2020 pembangkit PLTU Suralaya bertambah dua unit dengan kapasitas dua kali 1.000 megawatt. Pembangkit baru ini targetnya beroperasi pada tahun ini.  

Selain itu, pembangkit batu bara yang kerap disebut biang kerok polusi di Jakarta dan sekitarnya tidak hanya berasal dari Suralaya. Ada sembilan PLTU lainnya yang mengepung bekas Ibu Kota tersebut, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini:

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...