Kemenperin: Pembangunan Kilang 1 Juta Barel Bisa Hemat Devisa Rp 147 T

Ringkasan
- Kementerian Perindustrian mendukung pembangunan kilang minyak baru untuk mengurangi impor nafta dan memperkuat industri petrokimia dalam negeri. Substitusi impor ini ditargetkan dapat menghemat devisa hingga US$9 miliar atau Rp147 triliun.
- Kebutuhan nafta nasional saat ini belum tercukupi oleh produksi dalam negeri sehingga masih diperlukan impor. Pembangunan kilang baru diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nafta dalam negeri dan mendorong kemandirian bahan baku industri, khususnya farmasi.
- Kemenperin mengusulkan pembangunan kilang minyak baru di Tuban, dekat dengan PT TPPI, untuk mengintegrasikan produksi nafta dengan industri petrokimia yang sudah ada. Lokasi ini dianggap strategis karena Tuban merupakan pusat industri besar.

Kementerian Perindustrian mendorong rencana pembangunan beberapa kilang minyak baru dengan total kapasitas hingga satu juta barel per hari. Pembangunan kilang minyak ini diharapkan dapat menghemat devisa negara mencapai US$ 9 miliar atau Rp 147 triliun karena impor nafta.
“Kami sangat mendukung pembangunan refinery ini guna penguatan hulu di sektor petrokimia dalam rangka menuju substitusi impor, serta dapat berdampak positif pada penguatan nilai tambah dan investasi, hingga penyerapan tenaga kerja,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam siaran pers, dikutip Jumat (14/3).
Nafta merupakan salah satu fraksi minyak bumi yang dapat digunakan sebagai bahan baku bensin atau petrokimia. Fraksi ini dihasilkan terutama melalui proses distilasi minyak mentah di Crude Distillation Unit (CDU). Saat ini, produksi nafta untuk satu juta ton per tahun memerlukan sekitar 3,03 juta ton per tahun minyak mentah.
“Dalam proses cracking tersebut, dari minyak mentah itu akan dihasilkan minimal 20 persen nafta. Ini juga tergantung dari proses pemanasan atau titik didihnya,” ujar Agus.
Hingga kini. Indonesia hanya memiliki enam kilang minyak, dan semuanya itu merupakan investasi yang sudah berumur sangat lama. D dari enam kilang minyak tersebut, baru mampu memproduksi nafta sebesar 7,1 juta ton per tahun, sedangkan kebutuhan nafta nasional saat ini mencapai 9,2 juta ton per tahun, sehingga masih dibutuhkan importasi sebanyak 2,1 juta ton masih diimpor.
Jika seluruh kebutuhan impor nafta bisa diproduksi di dalam negeri, menurut dia, Indonesia bisa menghemat devisa mencapai US$ 9 miliar atau Rp 147 triliun per tahun. Pembangunan kilang juga dapa berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan produksi nasional untuk kemandirian bahan baku farmasi dalam negeri.
“Saat ini, terdapat beberapa proyek besar petrokimia yang segera beroperasi dan membutuhkan nafta kurang lebih 8 juta ton per tahun,” ujarnya.
Kemenperin telah mengusulkan kepada Kementerian ESDM untuk membangun kilang minyak baru di wilayah Tuban, yang saat ini telah memiliki pabrik petrokimia, yaitu PT TPPI.
PT TPPI saat ini memiliki dua mode produksi, yaitu petrokimia dan bahan bakar. PT TPPI didesain untuk menjadi kompleks petrokimia yang terintegrasi mulai dari produk-produk olefin dan produk-produk aromatik yang banyak digunakan untuk bahan baku tekstil dan farmasi serta bahan pelarut. Sedangkan fasilitas nafta menjadi olefin belum ada. Sehingga untuk mencapai integrasi perlu didirikan olefin center yang berbahan baku nafta di sini.
“Artinya, Tuban ini merupakan pusat industri besar, dengan sektor utama meliputi semen, petrokimia, minyak dan gas, serta industri maritim,” kata Agus..
Hal tersebut sejalan dengan rencana PT Pertamina yang mengembangkan rencana proyek GRR atau Kilang Tuban, dan akan menjadi pabrik terintegrasi yang akan mengolah crude oil menjadi BBM dan produk petrokimia yang memiliki nilai tambah tinggi.