Pro Kontra Kenaikan Tarif Royalti Minerba Terhadap Industri Tambang

Mela Syaharani
21 Maret 2025, 10:50
Royalti
ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.
Sejumlah kapal tongkang memuat batu bara melakukan lego jangkar di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (18/2/2025). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada Januari 2025 sebesar 21,45 miliar dolar AS atau turun 8,56 persen dibandingkan Desember 2024 (month to month) yang disebabkan oleh penurunan nilai ekspor nonmigas terutama pada komoditas bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan nabati, serta bijih logam terak dan abu.

Ringkasan

  • PT GoTo Gojek Tokopedia (GOTO) mencatat transaksi crossing saham senilai Rp 1,33 triliun melalui Maybank Sekuritas di harga Rp 82 per saham, di bawah harga pasar reguler.
  • GOTO akan melakukan buyback saham setelah kuartal terakhir 2023 membukukan indikator profitabilitas EBITDA yang positif.
  • Transaksi crossing jumbo ini terjadi setelah kesepakatan akuisisi Tokopedia oleh TikTok dan rencana buyback saham yang akan disetujui dalam RUPST 2024.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah sedang merumuskan kenaikan tarif royalti untuk komoditas mineral dan batu bara (minerba). Ada enam komoditas yang diusulkan mengalami perubahan tarif royalti, yaitu batu bara, nikel, tembaga, emas, perak, dan timah.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan Bisman Bakhtiar menilai kenaikan tarif royalti dalam jangka pendek akan meningkatkan penerimaan negara. Namun, kebijakan ini juga dapat berdampak besar terhadap sektor pertambangan ke depan.

"Kenaikan tarif ini akan menambah beban perusahaan, yang berpotensi menurunkan perputaran produksi dan melemahkan kinerja industri pertambangan," kata Bisman kepada Katadata, Kamis (20/3).

Bisman memperingatkan bahwa sektor pertambangan berisiko mengalami kemunduran. Saat ini, harga komoditas cenderung turun, sementara beban operasional semakin tinggi.

Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah menunda kenaikan tarif royalti, karena kebijakan lain seperti kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan penerapan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) sudah diterapkan.

"Sebaiknya jangan dulu menaikkan royalti pertambangan. Berikan waktu bagi pelaku usaha agar mereka tetap bisa menggerakkan bisnisnya dan menopang perekonomian," ujarnya.

Pengusaha Masih Diuntungkan Meski Royalti Naik

Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi justru menilai rencana kenaikan tarif royalti merupakan langkah yang tepat dan mendesak. Ia menyoroti bahwa pemerintah sudah lama tidak menaikkan tarif royalti, yang saat ini berkisar 11%.

"Sejak dulu tarifnya hanya 11%, dan tidak ada pajak windfall. Akibatnya, yang paling diuntungkan adalah penambang mineral, sementara pemerintah dan rakyat tidak memperoleh manfaat yang cukup," kata Fahmy saat dihubungi Katadata, Kamis (20/3).

Fahmy juga menekankan bahwa meskipun tarif royalti naik, pengusaha pertambangan masih dapat meraup keuntungan. Ia mengilustrasikan bahwa harga pokok produksi batu bara sekitar US$ 35 per metrik ton, sementara harga jual ke PLN mencapai US$ 70 dan harga pasar dunia berada di kisaran US$ 100-120 per metrik ton.

"Jadi, meskipun terjadi kenaikan royalti, pengusaha masih tetap diuntungkan," ujarnya.

Menurut Fahmy, pengusaha pertambangan masih memiliki ruang yang cukup besar untuk memperoleh keuntungan dari kegiatan pertambangan, sehingga kenaikan tarif royalti seharusnya tidak menjadi hambatan yang signifikan bagi industri.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Mela Syaharani

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...