Kerek Impor Minyak AS Dinilai Bisa Buka Peluang Negosiasi RI Hadapi Tarif Trump


Impor minyak mentah dari Amerika Serikat (AS) bisa menjadi langkah strategis Indonesia untuk meredam dampak kebijakan tarif impor dari Presiden Donald Trump. Selain mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia-AS, impor minyak juga membuka peluang negosiasi tarif dan diversifikasi sumber energi.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda menilai pembelian minyak dari AS bisa menjadi solusi untuk mengurangi surplus dagang Indonesia terhadap negara tersebut.
“Kebutuhan minyak mentah Indonesia cukup tinggi, mengingat Indonesia sudah menjadi net importir. Tujuan (pembelian) tidak lain untuk mengurangi surplus dagang kita dengan AS,” kata Nailul saat dihubungi Katadata.co.id, Selasa (8/4).
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai bahwa impor barang-barang dengan tingkat substitusi rendah di dalam negeri bisa menjadi salah satu strategi untuk menyeimbangkan perdagangan.
“Kalau soal perlu atau tidaknya impor minyak dari AS lebih banyak, ya itu mungkin bisa jadi salah satu alternatif juga,” ujar Faisal.
Menurut Faisal, selain minyak, barang seperti gandum dan kapas juga bisa dipertimbangkan untuk diimpor karena tidak dapat diproduksi di dalam negeri.
Tak hanya itu, produk manufaktur dengan industri substitusi yang masih terbatas juga bisa menjadi opsi untuk memperkuat hubungan dagang secara seimbang dengan AS.
AS mengalami peningkatan defisit neraca perdagangan. Untuk menekan defisit tersebut, Presiden Donald Trump pada pekan lalu menetapkan tarif impor sebesar 32% terhadap produk-produk Indonesia.
Ketegangan Perang Dagang AS-Cina Memanas
Sementara itu, ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Cina kembali meningkat. Pemerintah Cina menyatakan tidak akan tunduk pada ancaman tarif dari Presiden Donald Trump, yang berencana menaikkan tarif tambahan atas produk Cina menjadi 50%.
“Ancaman AS untuk menaikkan tarif terhadap Cina adalah kesalahan di atas kesalahan lainnya. Cina tidak akan pernah menerimanya. Jika AS bersikeras dengan caranya sendiri, Cina akan berjuang sampai akhir,” demikian pernyataan Kementerian Perdagangan Cina, Selasa (8/4), dikutip dari CNBC.
Trump sebelumnya mengancam akan menaikkan tarif tambahan atas produk Cina sebagai respons terhadap rencana tarif balasan sebesar 34% yang akan diterapkan Beijing mulai 10 April. Tarif ini merupakan balasan atas tarif tambahan dari AS terhadap produk Cina.
Kementerian Keuangan Cina mengumumkan tarif tambahan sebesar 34% atas seluruh impor dari AS. Dengan tambahan ini, total tarif baru yang dikenakan Trump terhadap Cina tahun ini mencapai 54%, setelah sebelumnya memberlakukan tarif sebesar 20% sejak Februari. Tarif rata-rata tertimbang AS terhadap produk Cina kini mencapai 65%.
Morgan Stanley memperkirakan kebijakan ini dapat menggerus pertumbuhan ekonomi Cina sebesar 1,5% hingga 2% pada tahun ini.
“Karena Cina sudah menghadapi tarif lebih dari 60%, tidak masalah jika tarifnya dinaikkan 50% atau 500%,” ujar Ekonom Senior di Economist Intelligence Unit Tianchen Xu. Ia menilai Beijing siap menghadapi perang dagang "sepenuhnya" dengan AS.
Menurut Xu, kedua belah pihak saat ini tengah menguji batas masing-masing. Ia memperkirakan Cina akan menyiapkan langkah balasan lebih lanjut, seperti menghentikan pembelian produk pertanian dari AS, menyamakan tarif, serta memperluas kontrol ekspor terhadap logam dan mineral strategis.