Deret Fakta Penambangan Nikel di Raja Ampat, Beroperasi Sejak 2018


Aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya sejak sepekan terakhir menuai sorotan negatif. Tanda pagar alias tagar #saverajaampat pun muncul di media sosial dan dikampanyekan oleh beragam kelompok publik hingga artis tanah air.
Beragam kontroversi pun muncul berkaitan dengan aktivitas tambang milik PT Gag Nikel yang berada di kawasan yang dekat dengan lokasi pariwisata itu. Gag Nikel merupakan anak perusahaan BUMN PT. Antam Tbk yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat.
Penambangan di lokasi itu berpotensi merusak merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat, Papua Barat. Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75% spesies coral dunia dan punya lebih dari 2.500 spesies ikan.
Daratannya memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. UNESCO juga telah menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai global geopark.
Usai sorotan negatif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menghentikan sementara operasional penambangan nikel oleh PT Gag Nikel di kawasan Raja Ampat.
Meski telah dihentikan sementara, publik masih terus mengawasi isu tersebut. Beberapa pulau di sekitar Raja Ampat berpotensi menjadi lokasi penambangan.
Berikut deret fakta mengenai penambangan di sekitar Raja Ampat:
Penambangan Nikel di Raja Ampat Sejak 2018
Bahlil mengungkapkan pemilik konsesi atau wilayah izin usaha pertambangan atau WIUP nikel di Pulau Gag kawasan Raja Ampat oleh anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Antam Tbk beroperasi sejak 2018.
“IUP produksinya itu keluar 2017 dan mulai beroperasi pada 2018,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Kamis (5/6).
Bahlil mengatakan tambang ini sudah mengantongi izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sebelum mereka beroperasi. PT Gag dahulunya merupakan IUP dengan izin konsesi berbentuk kontrak karya (KK) sekitar 1997 dan 1998. Kala itu, KK PT Gag dimiliki oleh perusahaan asing.
Plt Presiden Direktur PT GAG Nikel, Arya Arditya, menyatakan perusahaan beroperasi di luar daerah konservasi ataupun Geopark Unesco. "Kami siap menyampaikan segala dokumen pendukung yang diperlukan dalam proses konfirmasi kepada Kementerian ESDM,” ujar Arya dalam keterangan tertulisnya.
Ada 4 Perusahaan Nikel Langgar Aturan
Kementerian Lingkungan Hidup atau KLH menemukan sebanyak empat perusahaan nikel di Raja Ampat melanggar aturan lingkungan. Pemerintah telah menghentikan tiga dari empat aktivitas tambang perusahaan tersebut.
Keempat perusahaan tersebut yaitu PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP).
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq mengatakan seluruhnya telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan, namun hanya PT GN, PT KSM, dan PT ASP yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Hasil pengawasan menunjukkan berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil.
Tambang Nikel Babat 500 Hektare Hutan
Greenpeace, menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau Raja Ampat, seperti Gag, Kawe, dan Manuran. Eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas setempat.
Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir, yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat, Papua Barat.
Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Rio Rompas mengatakan penambangan nikel di sana dapat memberikan dampak buruk, baik untuk lingkungan maupun pariwisata.
Dari segi lingkungan dampak yang sudah terjadi adalah deforestasi, sedimentasi pesisir pantai, kerusakan terumbu karang, dan kekeruhan air laut di sekitarnya.
5 Pulau Sekitar Raja Ampat Terancam
Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang pecahan Rp 100 ribu.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam, Melky Nahar mengatakan Pulau Gag merupakan salah satu contoh nyata dari kerusakan sistemik akibat kebijakan pertambangan yang dijalankan dalam ruang tertutup, elitis, dan berpihak pada kepentingan segelintir.
“Sejumlah perubahan tata ruang, pelepasan kawasan konservasi hingga penerbitan izin tambang dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat adat dan publik luas,” kata Melky.