Harga Minyak Dunia Bisa Sentuh US$ 100 per Barel Jika Perang Israel-Iran Meluas


Perang Iran dan Israel berpotensi menaikkan harga minyak dunia secara signifikan jika cakupan perang meluas dan berlangsung dalam jangka waktu lama. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan tidak menutup kemungkinan jika harga minyak dunia akan di atas US$ 100 per barel, karena melibatkan negara-negara penghasil minyak, salah satunya Iran.
"Jika perang ini mengurangi pasokan dunia, akan menyebabkan harga minyak naik,” kata Fahmy saat dihubungi Katadata, Selasa (17/6).
Selain faktor pasokan, Fahmy menyebut potensi kenaikan harga juga dipengaruhi oleh lokasi terjadinya perang yang berada di Timur Tengah, dekat dengan Selat Hormuz. Area tersebut merupakan jalur perdagangan dunia, termasuk untuk pengangkutan minyak sehingga ada potensi terhambatnya pengiriman pasokan dunia.
“Kalau pasokan berkurang maka harga berpotensi melonjak,” ujarnya.
Tidak hanya kenaikan harga dunia, perang ini juga berpotensi menyebabkan masalah baru bagi Indonesia yang merupakan net importir minyak, jika harga melampaui US$ 100 per barel. Masalah tersebut berkaitan dengan penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi dan beban terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
“BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar kalau harganya tidak dinaikkan maka akan membebani APBN karena jumlah subsidinya cukup besar. Tapi jika harganya dinaikkan akan berbahaya bagi perekonomian Indonesia karena menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli,” ucapnya.
Kendati demikian, dia menyampaikan jika harga minyak dunia masih berada di angka US$ 90 per barel, maka pemerintah masih bisa mempertahankan subsidi tanpa harus menaikkan harganya. Berbeda dengan BBM subsidi, dia menyebut pergerakan harga minyak dunia melampaui US$ 100 per barel tidak akan berpengaruh terhadap BBM non-subsidi.
“Karena penetapan harganya sesuai dengan mekanisme pasar,” katanya.