Harga BBM Berpotensi Naik Imbas Mandatory Etanol 10%, Perlu Ada Insentif

Andi M. Arief
9 Oktober 2025, 17:09
Petugas SPBU menunjukan contoh produk Pertamax Green 95 di SPBU 44.571.28 Pedaringan, Solo, Jawa Tengah, Senin (28/7/2025).Dari tujuh SPBU di Jateng dan DIY yang menjual Pertamax Green, Pertamina mencatat penjualan rata-rata mencapai 150 liter perhari di
ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/bar
Petugas SPBU menunjukan contoh produk Pertamax Green 95 di SPBU 44.571.28 Pedaringan, Solo, Jawa Tengah, Senin (28/7/2025).Dari tujuh SPBU di Jateng dan DIY yang menjual Pertamax Green, Pertamina mencatat penjualan rata-rata mencapai 150 liter perhari di setiap SPBU yang menjual bahan bakar bensin dengan campuran lima persen bioetanol dari tebu dan menghasilkan nilai oktan RON 95 yang lebih ramah lingkungan tersebut.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Asosiasi Produsen Spirtus dan Ethanol Indonesia atau Aspendo mengatakan harga bahan bakar minyak (BBM) berpotensi naik jika pemerintah mewujudkan mandatory etanol 10% atau E10 pada 2027/2028. Sebab, Harga Indeks Pasar atau HIP Etanol selalu lebih tinggi dari harga bensin yang diimpor dari Singapura.

Untuk diketahui, mandatory E10 merupakan program pemerintah yang mewajibkan produsen bensin untuk mencampur 10% etanol dalam produknya. Ketua Umum Aspendo, Izmirta Rachman mengatakan implementasi mandatory E10 tanpa insentif pembelian etanol, harga bahan bakar di dalam negeri akan naik signifikan.

"Kalau tidak ada insentif, pasti ada keluhan dari masyarakat terkait naiknya harga bahan bakar dari program mandatory E10. Insentif tersebut bisa berupa kebijakan fiskal, non-fiskal, subsidi pembelian, atau pola lainnya," kata Izmirta kepada Katadata.co.id, Kamis (9/10).

Pemerintah telah menjalankan program pencampuran etanol sebesar 5% atau E5 secara sukarela. Produk E5 yang ada di pasar saat ini dikenal dengan nama Pertamax Greeeen yang dibanderol Rp 13.000 per liter bulan ini. Harga tersebut lebih tinggi 30% dari harga Pertalite senilai Rp 10.000 per liter.

Seperti diketahui, pemerintah telah menerapkan skema "subsidi" dalam program mandatori pencampuran minyak sawit mentah (CPO) kepada solar sebesar 40% atau B40. Insentif tersebut dijalankan dengan penarikan Pungutan Ekspor oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan.

Izmirta menilai skema insentif yang dilakukan pada program mandatory B40 tidak bisa diterapkan pada E10. Sebab, karakter industri CPO dan gula sangat berbeda, khususnya dari sisi neraca produksi.

Menurut dia, skema Pungutan Ekspor sebagai sumber dana insentif B40 bisa dilakukan lantaran industri CPO merupakan net eksportir. Sementara itu, industri gula nasional merupakan net importir sejak 1967.

Hal tersebut penting lantaran bahan baku etanol adalah limbah pemrosesan tebu menjadi gula, yakni molases. Status net importir industri gula nasional membuat produksi molases nasional hanya 1,6 juta ton. Angka tersebut hanya sekitar 13% dari total kebutuhan molases untuk mendukung program E10, yakni sekitar 12 juta ton.

Selain itu, Izmirta menjelaskan struktur kepemilikan industri gula nasional lebih kompleks dibandingkan industri CPO. Dengan demikian, pengenaan pungutan ekspor dapat diterima lebih mudah.

Pemilik fasilitas pengolahan etanol dan pabrik gula dimiliki entitas yang berbeda. Sementara itu, pemilik fasilitas pengolahan CPO dari produk mentah hingga menjadi aditif B40 telah terintegrasi dan umumnya dimiliki satu entitas.

"Secara sederhana, molases dimiliki petani, sedangkan etanol dimiliki pabrik. Akan ada pihak yang tidak terima kalau ada pungutan ekspor. Namun pasti ada jalan keluar lain yang bisa ditemukan pemerintah," katanya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...