Mengenal PLTA Tonsealama, Warisan Belanda yang Masih Terangi Sulawesi Utara

Mela Syaharani
1 November 2025, 16:40
PLTA
Katadata/Mela Syaharani
Gedung PLTA Tonsealama
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kabupaten Minahasa memiliki sebuah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang sudah berdiri sejak masa penjajahan Belanda. Namanya PLTA Tonsealama, sama dengan desa tempat pembangkit tersebut berada.

Untuk menuju ke lokasi PLTA, perlu menempuh jarak sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Manado, Sulawesi Utara. Letaknya tersembunyi di antara perkebunan, dengan jalan kecil yang berliku dan menurun tajam.

Saat memasuki area PLTA, pengunjung akan disambut pemandangan air terjun yang mengalir ke sungai yang merupakan sumber energi utama pembangkit. Jalan menuju lokasi cukup curam dan berbatu, dikelilingi pepohonan rindang serta suara gemericik air. Sebuah jembatan menghubungkan area parkir di lereng dengan lokasi pembangkit.

Unit 1 PLTA Tonsealama pertama kali dibangun pada 1920-an, saat Indonesia masih berada di bawah penjajahan Belanda. Nama lama pada bangunannya masih terpampang jelas yaitu Pusat Listrik Tenaga Air Tonsealama.

“Mulai beroperasi 1949, namun legalnya pada 1950,” ujar Asisten Manajer Operasi PT PLN Nusantara Power UP Minahasa, Oudy F. Rumbajan saat ditemui di Minahasa, Sulawesi Utara, Kamis (30/10).

PLTA Tonsealama termasuk dalam tujuh pembangkit pertama milik s’Lands Waterkracht Bedriven, perusahaan listrik Hindia Belanda yang berdiri pada 1927 dan menjadi cikal bakal PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Pembangkit ini mulai dibangun pada 1928 dan menjadi yang pertama di Indonesia yang memanfaatkan aliran sungai dari Danau Tondano sebagai sumber energi primernya.

Memiliki 3 Unit Pembangkit

Kini, PLTA Tonsealama memiliki tiga unit pembangkit dengan kapasitas total 12 megawatt (MW). Awalnya, listrik yang dihasilkan hanya dialirkan untuk wilayah Manado dan Minahasa. Namun sejak 1980-an, PLTA ini telah terhubung ke sistem interkoneksi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo (Sulutgo).

Oudy mengatakan, PLTA yang telah beroperasi selama 75 tahun ini menghadapi berbagai tantangan, mulai dari sumber daya manusia, peralatan, hingga debit air Danau Tondano.

“PLTA itu beroperasi sesuai musim hujan, kinerjanya bergantung pada elevasi air Danau Tondano. Jadi, Danau Tondano harus dijaga bersama agar pasokan air ke PLTA tetap terjaga, sehingga Manado dan sekitarnya bisa terus terlistriki,” ujar Oudy.

Dia menjelaskan, musim kemarau biasanya terjadi pada Juli hingga September, saat elevasi air mulai surut, sedangkan musim hujan dimulai pada Oktober.

Oudy menambahkan, PLTA ini pernah mengalami shutdown atau penghentian operasi karena debit air yang rendah saat musim kemarau. Untuk mengatasinya, PLN melakukan teknik modifikasi cuaca agar elevasi air naik dan kembali mengalir ke PLTA.

Selain modifikasi cuaca, PLN juga menambah debit air dengan menanam pohon di sekitar area PLTA. Penanaman pohon ini bertujuan memanfaatkan fungsi pohon sebagai penampung air sekaligus menjaga kontur tanah.

Masalah Sampah dan Pendangkalan Danau

Selain debit air, PLTA Tonsealama juga menghadapi tantangan dari sampah dan sedimen yang menumpuk di daerah aliran sungai (DAS).

“Sampah sering menyumbat area penampungan, baik di musim hujan maupun kemarau. Kami terus sosialisasi ke masyarakat sekitar agar tidak membuang sampah ke sungai,” kata Oudy.

Untuk menjaga stabilitas elevasi air, PLN bersama berbagai pihak juga rutin melakukan pengerukan sedimen di Danau Tondano. Upaya ini penting agar kapasitas air tetap terjaga dan pembangkit bisa terus beroperasi optimal.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Mela Syaharani

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...