Aturan Baru, Tambang di Kawasan Hutan Didenda hingga Rp 6,5 Miliar per Hektare
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menerbitkan aturan penetapan tarif denda administratif terkait pelanggaran kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan. Tarif ini berlaku untuk komoditas nikel, bauksit, timah, dan batu bara.
Penetapan denda ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 391.K/MB.01/MEM.B/2025 yang ditetapkan pada 1 Desember 2025. Penghitungan denda ini didasarkan hasil kesepakatan Rapat Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan untuk kegiatan usaha pertambanga.
Hal ini sesuai dengan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Selaku Ketua Pelaksana Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan Nomor B-2992/Set-PKH/11/2025 pada 24 November 2025.
Berikut besaran denda administratifnya:
- Nikel sebesar Rp 6,5 miliar per hektare (ha)
- Bauksit sebanyak Rp 1,76 miliar per ha
- Timah mencapai Rp 1,25 miliar per ha
- Batu bara sejumlah Rp 354 juta per ha
Penagihan denda ini dilakukan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan untuk kegiatan usaha pertambangan. “Dan hasil penagihan denda tersebut diperhitungkan sebagai penerimaan negara bukan pajak sektor ESDM,” bunyi beleid tersebut, dikutip Rabu (10/12).
Aturan tersebut menjelaskan bahwa penetapan denda ini berlaku pada penindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengatakan saat ini memang banyak lokasi pertambangan di Indonesia yang berada di kawasan hutan. Menurutnya, hal ini tidak bisa dihindari karena lokasi tambang memang rata-rata di wilayah terpencil (remote) berupa hutan.
“Aturan ini dapat menimbulkan efek jera karena dengan denda sangat besar bisa membuat perusahaan berhati-hati atau bahkan takut,” kata Bisman kepada Katadata, Rabu (10/12).
Selain itu dia menyebut aturan ini juga bisa menjadi jalan agar perusahaan patuh pada regulasi dan melakukan perlindungan kepada lingkungan hidup. Termasuk juga menjadi sarana penegakan hukum dan memperkuat pengawasan.
“Pengusaha tambang akan lebih selektif dalam mengelola lokasinya, ini akan menambah pengeluaran (mereka) tetapi berdampak baik bagi hutan dan lingkungan bahkan untuk penerimaan negara,” ujarnya.
