Berbagai Kenaikan Tarif dan Ancaman AS -Tiongkok Selama Perang Dagang
Eskalasi perang dagang naik lagi. Sejak kemarin, Minggu (1/9), pemerintah Amerika Serikat (AS) mulai menerapkan tarif tambahan sebesar 15% terhadap produk impor Tiongkok. Nilai produk itu mencapai US$ 110 miliar, termasuk di dalamnya pakaian, sepatu, furnitur, dan jam tangan pintar.
Ini baru langkah awal. Presiden AS Donald Trump berencana menaikkan bea masuk serupa untuk barang Tiongkok lainnya hingga akhir tahun. Total nilainya US$ 300 miliar. Jika rencana ini berjalan, maka Trump membuat semua produk Cina yang masuk ke negaranya kena tarif baru.
Rata-rata tarif impor Tiongkok ke AS naik 3% menjadi di atas 21%. Angka ini setara dengan tingkat tarif yang berlaku saat era proteksionisme pra-Perang Dunia II.
Beijing tak tinggal diam. Pemerintah di sana melakukan serangan balasan. Tarif impor asal AS sudah naik 22%. Per 1 September kemarin juga berlaku penambahan bea masuk 5%-10% untuk produk dari negara adikuasa itu senilai US$ 75 miliar.
Sebanyak 1.717 jenis barang, termasuk kedelai dan barang mentah AS terkena imbasnya. Per 15 Desember nanti tarif serupa akan berlaku terhadap 3.361 jenis barang, termasuk mobil.
(Baca: Perang Dagang, Rangkaian Saling Balas Tarif AS vs Tiongkok)
Perang dagang telah berlangsung selama lebih setahun. Dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu tak kunjung menemui kesepakatan. Saling berbalas tarif malah menjadi senjata untuk menekan lawan.
Trump sejak awal menjabat sudah menyerukan ketidakadilan praktik dagang yang dilakukan oleh Cina. Termasuk di dalamnya soal kebijakan properti intelektual, akses pasar, subsidi, dan transfer teknologi.
Tuduhan ini tentu saja dibantah Beijing. Pemerintah di sana meyakini ini hanya taktik Trump untuk menekan pertumbuhan ekonomi negaranya.
Negosiasi terus berlangsung tapi selalu menemui jalan buntu. Kedua belah pihak tidak kunjung sepakat, terutama masalah tarif.
(Baca: Perang Dagang Memanas, Hari Ini AS Terapkan Tarif Baru untuk Tiongkok)
Tarif Apa Saja yang Sudah Dinaikkan AS dan Tiongkok?
Mengutip dari BBC, pada Juli 2018 AS menaikkan bea masuk impor produk Tiongkok senilai US$ 34 miliar. Cina membalas melakukan hal serupa.
Lalu, sebulan kemudian produk Beijing senilai US$ 16 miliar juga kena tarif 25%. Beijing membalas hal yang sama untuk produk dari AS.
Pada September 2018, AS menaikkan tarif produk Tiongkok senilai US$ 200 miliar dari 10%menjadi 25%. Mereka juga mengancam menaikkan lagi produk lainnya jika Cina melakuan balas dendam. Tiongkok membalas dengan menaikkan bea masuk produk AS senilai US$ 60 miliar.
Trump lalu memasang lagi kenaikan tarif dari 10% menjadi 25% untuk US$ 200 miliar produk Cina pada Mei 2019. Beijing membalas dengan menaikkan bea masuk produk AS senilai US$ 60 miliar per 1 Juni lalu.
Di akhir bulan Juni 2019, kedua belah pihak sempat bertemu di acara pertemuan puncak G20, Osaka, Jepang. Trump mengatakan Presiden Tiongkok Xi Jinping telah sepakat berdamai.
Sebagai bagian kesepakatan itu, perusahaan teknologi Huawei akan keluar dari daftar hitam Washington. Tapi sampai sekarang hal ini tak terealisasi.
(Baca: Dampak Perang Dagang, Google Pindahkan Pabrik Ponsel dari Tiongkok )
Trump kala itu juga dengan percaya diri juga mengatakan Cina bakal membeli banyak produk makanan dan pertanian dari negaranya. Namun, sebulan kemudian, ia mencak-mencak pada akun Twitternya karena Beijing tak kunjung merealisasikan hal itu.
Tak lama, Tiongkok mengumumkan menurunkan kepemilikan surat berharga pemerintah AS sebesar US$ 25% dari nilai US$ 1,100 triliun. Sejak krisis keuangan 2008, Cina menjadi salah satu pemegang US Treasury yang terbesar, selain Jepang.
Awal Agustus, Trump mengumumkan akan menerapkan tambahan tarif baru sebesar 10% untuk US$ 300 miliar produk Cina secara bertahap. Sebagai balasan, bank sentral Tiongkok menurunkan nilai mata uang yuan ke level terendah sejak 2008.
(Baca: Jelang Kenaikan Tarif, AS-Tiongkok Beri Sinyal Bakal Berunding)
Trump menuduh Beijing sebagai manipulator mata uang. Padahal, Badan Moneter Internasional (IMF) menyebut yuan telah berada pada nilai yang tepat, sementara dolar AS-lah yang terlalu tinggi nilainya.
Bulan ini, tepat tanggal 1 pukul 00:00 kedua belah pihak menerapkan tarif baru untuk produk impor dari negara lawannya. Jalan damai belum ditemukan. Gara-gara perang dagang, IMF menyebut perekonomian global melambat tahun ini ke level 3,2%.