Ekonom Peringatkan Perang Dagang Jepang-Korsel Lebih Berisiko Bagi RI
Ketegangan politik antara pemerintah Jepang dan Korea Selatan berbuntut pada hubungan dagang kedua negara. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal memperingatkan pemerintah untuk waspada. Sebab, bagi Indonesia, dampak perang dagang Jepang-Korsel lebih buruk dibandingkan perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok.
Ia menjelaskan, Jepang dan Korea Selatan telah membangun rantai produksi global (global production network) dan rantai nilai global (global value chain). “Sehingga secara ekonomi Indonesia lebih terikat dengan Jepang daripada Tiongkok,” kata dia kepada katadata.co.id, Senin (8/7).
(Baca: BKPM Optimistis Pertumbuhan Investasi Tahun Ini Capai Dua Digit)
Ditambah lagi, Jepang dan Korsel lebih dekat secara geografis dengan Indonesia. Ketegangan dagang antarkedua negara bisa berdampak terhadap investasi dan ekspor Indonesia. Apalagi, porsi investasi asing langsung (FDI) dari Jepang dan Korsel di Indonesia termasuk besar.
"Jadi akan tercermin di pertumbuhan ekonomi kalau tensi dagang berlangsung cukup lama," ujarnya.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jepang merupakan negara ketiga dengan nilai investasi asing terbesar di Indonesia, yaitu US$ 1,13 miliar pada kuartal I 2019. Sedangkan Korea Selatan menduduki posisi kedelapan dengan nilai investasi US$ 269,5 juta.
Dari sisi perdagangan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang Januari-Mei 2019, Jepang merupakan pangsa ekspor nonmigas terbesar ketiga Indonesia dengan nilai US$ 5,67 miliar. Sedangkan, Korea Selatan berada di posisi ketujuh dengan nilai ekspor US$ 2,73 miliar.
(Baca: Genjot Ekspor, Kemendag Kejar Penyelesaian 11 Perjanjian Dagang)
Namun, ia menilai ketegangan dagang Jepang dan Korsel berpotensi cepat berakhir dibandingkan AS dan Tiongkok. Sebab, ketegangan dagang disebabkan oleh permasalahan politik, bukan permasalahan ekonomi seperti AS dan Tiongkok. Di tambah lagi, Jepang memiliki historis enggan terlibat dalam konflik.
Meski begitu, Fithra mengatakan pemerintah tetap perlu melakukan langkah antisipasi dengan menguatkan pasar ekspor nontradisional. Selain itu, pemerintah perlu memperbaiki defisit transaksi berjalan dan memperkuat industri. "Sedangkan dalam jangka pendek perlu deregulasi guna meningkatkan besaran FDI," kata dia.