Pemerintah Diminta Genjot Ekspor ke Negara Nontradisional
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengatakan, pemerintah perlu mendorong ekspor ke pasar nontradisional. Menurutnya, Indonesia masih memiliki negara tujuan ekspor yang potensial, seperti Tanzania, Kenya, Mesir, Afrika Selatan, dan Nigeria.
"Pemerintah harus fokus membuka pasar ekspor baru. Negara Afrika bisa menjadi potensi ekspor Indonesia," kata dia di Hotel Pullman, Jakarta, Senin (28/5).
Berdasarkan data Bank Dunia dan United Nation (UN) Comtrade, Tanzania memiliki potensi pasar yang besar berdasarkan populasi penduduknya, yaitu sebanyak 57,3 juta jiwa. Sementara, kontribusi ekspor Indonesia ke Tanzania saat ini baru 0,15%. Adapun komoditas utama ekspor Indonesia ke Tanzania meliputi minyak kelapa sawit dan turunannya sebesar 77,7%.
Selain itu, Kenya memiliki potensi pasar sebesar 49,7 juta jiwa, namun kontribusi ekspor Indonesia masih 0,17%. Komoditas utama yang dapat diekspor ke sana meliputi minyak kelapa sawit dan turunannya sebesar 65,2%.
Kemudian, potensi pasar Nigeria mencapai 190,9 juta jiwa. Namun, kontribusi ekspor Indonesia baru sebesar 0,23%. Komoditas utama ekspor ke Nigeria terdiri dari kertas ddan kertas karton sebesar 23,6%.
(Baca: Di Balik Membesarnya Defisit Neraca Dagang Indonesia)
Di luar negara tersebut, Arif juga menyebutkan ada potensi ekspor yang besar ke India dan Tiongkok untuk produk nonmigas. Bila pemerintah dapat bersinergi dalam mengembangkan pasar ekspor, Arif menilai pertumbuhan ekspor sebesar 7% per tahun dapat tercapai.
Hal ini juga harus diiringi dengan diversifikasi produk ekspor Indonesia. Salah satu contohnya, diversifikasi produk seperti sereal, garam dan sulfur, kimia anorganik, minyak atsiri dan resinoid, wewangian, kosmetik atau toilet, serta alas kaki.
Berdasarkan data UN Comtrade 2018, ekspor sereal baru berkontribusi sebesar 0,04% terhadap total ekspor, sementara pertumbuhan secara tahunannya mencapai 1.624% (year on year/yoy). Kemudian, sumbangan ekspor garam dan sulfur mencapai 0,18% terhadap ekspor nasional dengan pertumbuhan 53% (yoy).
Begitu juga ekspor kimia anorganik baru menyumbang 0,63% terhadap ekspor nasional dengan pertumbuhan sebesar 39,5% secara tahunan. Lalu, ekspor minyak atsiri dan resinoid, wewangian, kosmetik atau toilet memberikan andil terhadap ekspor nasional sebesar 0,43% dengan pertumbuhan 8,8% dibandingkan 2017 lalu.
Selain itu, peningkatan nilai tambah produk ekspor juga menjadi penting. "Apakah mau terus ekspor sawit dan kernel palm oil? Atau diolah menjadi oleochemical?" ujarnya.
(Baca: Indonesia Gandeng Argentina Demi Tekan Defisit Neraca Dagang)
Strategi lainnya, komoditas ekspor unggulan dearah dapat terus didorong. Sebab, masih banyak produk komoditas daerah yang belum dikelola dan masih diekspor dalam bentuk mentah. KEIN menyebutkan, potensi ekspor yang dapat dikembangkan seperti kopi dan teh rempah dari Aceh. Selain itu, ada pula lemak dan minyak hewan/nabati dari Kalimantan Tengah serta bijih tembaga dan konsentrat dari Papua.
Di sisi lain, peran ekonomi digital juga menjadi penting untuk meningkatkan ekspor. Ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan ekonomi digital pada lima sektor terbesar, yaitu makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, elektronik, dan produk kimia.
Sementara Anggota KEIN Hendri Saparini mengatakan peningkatan ekspor bisa dilakukan dengan menguatkan ekonomi politik. Sebab, ekspor menuju mitra dagang utama, Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) menjadi terbatas lantaran adanya perang dagang.
"Kalau mau dorong ekspor, political economy harus dijalankan. Cari pasar baru yang bisa serap ekspor," ujarnya.