Merugi Rp 2 Triliun, Peternak Unggas Tuntut Perlindungan Usaha
Sejumlah peternak unggas mandiri yang tergabung dalam beberapa asosiasi menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara. Mereka menutut pemerintah mengambil langkah perlindungan usaha bagi peternak mandiri. Kejatuhan harga jual ayam hidup menyebabkan peternak merugi hingga Rp 2 triliun dalam enam bulan terakhir .
Aksi ini diikuti oleh sejumlah elemen peternak dan petani, yaitu Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar Indonesia), Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan), Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN), Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA), Law and Human Rights Office LOKATARU dan Agriwatch.
Menurut mereka, kerugian hingga triliunan rupiah itu disumbang dari sejumlah faktor. "Mulai dari bibit, pakan, hingga obat,” kata Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi di Jakarta, Selasa (5/3).
(Baca: Jagung Mahal, Kemendag Terapkan Harga Khusus Daging Ayam dan Telur)
Berdasarkan catatan pantauan harga oleh Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (PINSAR), harga rata-rata ayam hidup per Oktober 2018 sebesar Rp 19.000 per kilogram (kg). Pada Februari 2019 menurun menjadi Rp 17.373 per kg. Dengan demikian, terjadi penurunan harga ayam hidup rata-rata 8,6% setiap bulan. Rata rata peternak unggas rakyat merugi sebesar Rp3000 per kilogram ayam hidup.
Jika dalam seminggu 18 juta ekor ayam hidup dan asumsi tingkat kematian 5%. Dengan bobot rata-rata 1,6 kilogram (kg) per ekor selama 6 bulan terdapat 26 minggu siklus produksi (chick in), maka kerugian yang ditelan peternak mandiri bisa mencapai Rp 2 triliun dalam enam bulan.
Sugeng menegaskan jika kondisi ini dibiarkan maka akan menimbulkan kebangkrutan bagi para peternak ayam rakyat dan mandiri.
Dalam aksi tersebut, para peternak unggas rakyat mandiri menuntut dua hal. Pertama untuk tujuan jangka pendek, mereka menuntut kenaikan harga ayam hidup di tingkat peternak serta menurunkan harga sarana peternakan seperti pakan ternak dan mengatur distrubusi DOC (day old chick). "Naikkan harga ayam hidup di atas biaya pokok produksi,” kata Sugeng.
Menurutnya, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 82 tahun 2019 tidak terimplementasi dengan baik. (Baca: Pengusaha Pakan Ternak Bantah Klaim Pemerintah soal Harga Jagung Turun)
Jika mengacu pada surat edaran Nomor 82/M-DAG/SD/1/2019 tertanggal 29 Januari 2019, harga pembelian daging ayam ras dan telur ayam ras di tingkat peternak untuk periode Januri - Maret 2019 ditetapkan sebesar Rp 20 ribu per kilogram untuk batas bawah dan Rp 22 ribu per kilogram untuk batas atas. Namun kondisi saat ini, harga pembelian yang diterima peternak hanya Rp 15 ribu per kg. Sementara biaya produksi terus meningkat.
Pihaknya mencatat, sepanjang tahun 2018, terjadi kenaikan harga pakan sebanyak enam kali,
terhitung sejak Mei hingga Desember 2018, dengan total kenaikan harga pakan sebesar
Rp 850 per kilogram pakan. Dengan demikian, harga pakan di 2018, secara total meningkat sebesar 12,15 %. Kondisi ini terjadi seiring dengan tingginya harga jagung akibat penguatan dollar AS.
Kemudian tujuan kedua atau jangka menengah, para peternak unggas mandiri meminta agar pemerintah menerbitkan regulasi yang lebih pro kepada rakyat kecil. "Dibuatkan aturan-aturan pro rakyat, sehingga peternak rakyat tidak terpinggirkan. Kan katanya pemerintah pro rakyat," kata Sugeng.
(Baca: Kementan: Tambahan Impor Jagung untuk Antisipasi Lonjakan Harga)
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar mengatakan bahwa peternakan produksi pangan harus menjadi milik rakyat, bukan justru perusahaan-perusahaan integrator. “Mereka kuasai kandang Anda, kuasai tanah tapi mereka tidak membantu mengembangkan pangan,” kata Haris Azhar.
Sehingga meminta pemerintah, untuk memberikan rasa keadilan dalam berusaha dan perlindungan usaha bagi Peternak Unggas Rakyat Mandiri agar tidak lagi mengalami kerugian parah seperti saat ini.