Pengusaha Sawit Usulkan Penurunan Pungutan Ekspor

Michael Reily
26 Oktober 2018, 06:00
Kelapa sawit
Arief Kamaludin|KATADATA
Petani memanen buah kelapa sawit di salah satu perkebunan kelapa sawit di Desa Delima Jaya di Kecamatan Kerinci, Kabupaten Siak, Riau.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengusulkan penurunan pungutan ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pengusaha meminta penurunan pungutan ekspor minyak sawit sebesar US$ 20 per ton.

Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menyatakan permintaan penurunan pungutan ekspor dilatari oleh rendahnya harga rata-rata CPO dunia yang saat ini kembali berada di bawah US$ 700 per ton. "Turunkan sementara saja, mungkin kalau harganya naik pungutannya bisa kembali lagi," kata Mukti di Jakarta, Rabu (25/10).

(Baca: Permintaan Global Belum Membaik, Gapki Estimasi Ekspor CPO Turun 5%)

Menurutnya, penurunan pungutan ekspor bisa membuat daya saing produk CPO meningkat. Pengusaha pun bisa kembali mendapatkan sedikit keuntungan untuk mengimbangi penurunan harga CPO. 

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2018,  pemerintah mengenakan pungutan ekspor sawit atau CPO sebesar US$ 50 per ton, komoditas minyak sawit RBD (Refined, Bleached, and Deodorized) sebesar US$ 30 per ton, dan minyak goreng kemasan US$ 20 per ton.

Sementara menurut data Gapki, pada tahun lalu CPO menyumbang sebesar 22% terhadap total ekspor sawit, sedangkan CPO yang diolah 68%, lauric oil, 6%, oleokimia 3%, dan 1% biodiesel.  Adapun secara keseluruhan, total ekspor sawit dan turunannya mencapai US$ 22,97 miliar.

Sementara itu, Ketua Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan bahwa pungutan ekspor turunan minyak kelapa sawit bakal membuat produk Indonesia lebih  kompetitif. Alasannya, belum  banyak negara di dunia yang memiliki pabrik pengolahan CPO seperti di Afrika.

Dia mengungkapkan penurunan pungutan ekspor untuk produk turunan sawit akan mendorong proses hilirisasi menjadi lebih produktif. Alhasil, penyerapan CPO dalam negeri juga lebih meningkat. "Saat ini ekspor kurang kompetitif," ujar Sahat.

Berbeda dengan pendapat sebelumnya, GIMNI justru meminta pungutan ekspor CPO tak diturunkan dengan alasan Malaysia akan membeli produk dari Indonesia. Sebab, pabrik pengolahan negeri tetangga itu lebih kompetitif dari sisi biaya produksi.

(Baca : Perang Dagang Berpotensi Memukul Ekspor Komoditas Andalan)

Dihubungi terpisah Corporate Secretary, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, Achmad Maulizal Sutawijaya, mengungkapkan dana pungutan ekspor yang dikumpulkan diarahkan untuk industri untuk mendukung peningkatan permintaan sawit nasiona, seperti program biodiesel 20% yang menyerap hasil produksi sawit sehingga mendorong stabilitas harga.

Selain itu, pungutan ekspor juga diarahkan untuk peremajaan kelapa sawit serta penelitian dan pengembangan industri nasional. BPDP Kelapa Sawit menilai penurunan ekspor terjadi karena hambatan dagang secara global, bukan oleh pungutan ekspor. "Skema dana pungutan mampu mendorong hilirisasi industri sawit," kata Achmad.

Dia juga menekankan, kebijakan penurunan tarif pungutan ekspor harus berdasarkan regulasi pemerintah. Alhasil, pelaksanaan pengelolaan keuangan dana sawit serta tarif harus berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

(Baca : BI Sebut Perang Dagang Ganggu Laju Ekonomi dan Picu Kenaikan Bunga AS)

Reporter: Michael Reily
Editor: Ekarina

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...