Permintaan Melemah, Ekspor Sawit Semester Pertama 2018 Turun 6%
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) pada semester pertama 2018 turun 6% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya seiring melemahnya permintaan dari beberapa pasar tujuan utama.
Menurut data Gapki, pada Januari-Juni 2018, ekspor kelapa sawit Indonesia, di luar oleochemical dan biodiesel, turun 6% menjadi 14,16 juta dibandingkan periode yang sama tahun 2017 sebesar 15,04 juta ton. Sementara itu, jika ekspor dihitung dengan biodiesel dan oleochemical, volume penjualan turun 2% dari 15,62 juta ton menjadi 15,30 juta ton pada periode yang sama.
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan, penurunan ekspor semester I 2018 disebabkan oleh menurunnya permintaan CPO dari beberapa negara tujuan utama ekspor sawit RI.
Gapki mencatat, ekspor CPO pada semester pertama ke India anjlok 34% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yaitu dari 3,74 juta ton menjadi 2,50 juta ton. "Penyebabnya antara lain karena pengenaan bea masuk sawit yang tinggi untuk melindungi industri pengolahan di sana," ujar Mukti dalam keterangan resmi, Jumat (27/7).
Selain itu, ekspor sawit RI pada semester I 2018 ke kawasan Uni Eropa. Isu deforestasi dan kebijakan penghapusan biofuel berbasis pangan oleh Parlemen Eropa diperkirakan turut mempengaruhi permintaan minyak sawit Indonesia di sana.
(Baca : Laba Bersih Dua Perusahaan Perkebunan Milik Grup Salim Turun Drastis)
Gapki mencatat, ekspor ke Uni Eropa pada semester I tahun ini turun 12% menjadi 2,39 juta ton dari 2,71 juta ton per semester I 2017. Penurunan kinerja impor untuk periode yang sama juga terjadi di beberapa negara di benua Afrika sebesar 10%.
Namun demikian, ekspor CPO Indonesia pada semester I justru mengalami peningkatan ke Tiongkok dan Amerika Serikat (AS).
Menurut Mukti, ekspor CPO ke Tiongkok pada Januari-Juni 2018 naik 23% menjadi 1,82 juta ton dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu sebesar 1,48 juta ton.
“Kenaikan volume ekspor minyak sawit ke Tiongkok karena adanya penurunan pajak pertambahan nilai untuk minyak nabati dari 11% menjadi 10% yang efektif berlaku sejak 1 Mei 2018,” ujar Mukti.
Sementara untuk ekspor minyak sawit ke AS pada semester pertama 2018 juga membukukan kenaikan sebesar 68,38 ribu ton setara 13% menjadi 611 ribu ton dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 542 ribu ton.
Selain AS dan Tiongkok, kenaikan ekspor minyak sawit Indonesia pada semester pertama 2018 juga terjadi di Bangladesh sebesar 31%, Paskistan 7%, dan Timur Tengah 4%.
Gapki berharap ke depan peningkatan permintaan minyak sawit Indonesia bisa lebih besar seiring tingginya kebutuhan industri.
(Baca juga : Penguatan Dolar Tak Banyak Membantu Kinerja Ekspor Sawit)
Sementara itu, produksi minyak sawit Indonesia pada semester pertama 2018 telah mencapai 22,32 juta ton, meningkat 23% dibandingkan dengan produksi tahun lalu pada periode yang sama sebesar 18,15 juta ton. Meningkatnya produksi semester pertama 2018 ini karena faktor cuaca serta dampak El Nino pada tahun sebelumnya sudah mulai berkurang.
Dari sisi harga, rata-rata harga komoditas sawit sepanjang semester pertama 2018 masih bergerak di kisaran US$ 605 – US$ 695 per metrik ton.
Harga CPO global terus tertekan sejak awal Desember 2017 sampai semester pertama 2018. Menurut catatan Gapki, sepanjang enam bulan pertama 2018 harga jual CPO bahkan belum pernah menembus US$ 700 per metrik ton.
“Lesunya harga CPO global diperkirakan terjadi karena melimpahnya stok komoditas penghasil minyak nabati di pasar global,” kata Mukti.