Misi Dagang Indonesia Semester I 2018 Capai Transaksi Rp 126 Triliun
Misi dagang Indonesia diklaim telah menghasilkan transaksi ekspor sebesar US$ 9,01 miliar atau setara Rp 126,14 triliun. Program ini merupakan salah satu strategi Kementerian Perdagangan untuk mencapai pertumbuhan ekspor 11% pada 2018.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan Arlinda menyatakan, pemerintah mempertahankan negara-negara tujuan ekspor utama, selain meningkatkan perdagangan ke pasar nontradisional. “Kalau diam dan tidak melakukan sesuatu, sulit dalam situasi perdagangan ekonomi global sekarang,” kata Arlinda di Jakarta, Rabu (18/7).
Misi dagang dilakukan dengan membawa beberapa eksportir potensial untuk memperkenalkan produknya ke negara sasaran ekspor. Sepanjang tahun ini, Kementerian Perdagangan menjadwalkan 11 misi dagang dan 7 di antaranya telah berjalan pada semester I.
Pada 22 hingga 24 Januari 2018, misi dagang ke India menghasilkan transaksi US$ 2,16 miliar dengan produk emas batang, minyak sawit, gula kelapa, makanan ringan, pinang, produk kulit dan genteng metal. Misi dagang juga menghasilkan investasi sektor perkebunan kelapa sawit.
(Baca juga: Libur Lebaran, Neraca Dagang Juni 2018 Diprediksi Surplus US$ 600 Juta)
Kemudian, 25 sampai 27 Januari 2018, misi dagang ke Pakistan membukukan transaksi US$ 6,5 miliar dengan produk kopi, teh, kelapa sawit, makanan olahan, kakao, dan rempah-rempah. Ada juga investasi pabrik pengolahan sawit dan juga perdagangan bidang energi.
Arlinda menjelaskan, misi dagang juga dilakukan untuk memulai perdagangan, contohnya Selandia Baru. Misi dagang ke sana dilakukan pada 16 sampai 19 Maret 2018 dengan transaksi US$ 9,74 juta. “Mereka tertarik kopi dan crackers kita,” ujarnya.
Setelah itu, misi dagang juga dilakukan di Taiwan pada 24 - 26 Maret 2018. Pelaku usaha mencatatkan transaksi sebesar US$ 30,7 juta dengan komoditas yang berhasil dijual seperti furnitur, kopi, makanan dan minuman, perhiasan perak dan mutiara, serta produk kulit.
Nilai Ekspor dan Impor Indonesia (Jan 2017-Mei 2018)
Dari Bangladesh, pelaku usaha berhasil mencapai kontrak pembelian bus dan gerbong kereta api. Komoditas rempah-rempah, suku cadang kendaraan bermotor, produk busana muslim, makanan dan minuman, aksesoris, aroma terapi, serta kerajinan tangan mencapai transaksi US$ 279,19 juta.
Akhir bulan lalu, Arlinda dan pelaku usaha juga melakukan misi dagang ke Tunisia dan Maroko dengan transaksi masing-masing US$ 2,7 juta dan 13,25 juta. Dia menjelaskan, kedua negara bisa menjadi hub ekspor ke Eropa. “Kedua negara punya perjanjian dagang dengan Eropa,” katanya.
Delegasi Indonesia pun bakal mengunjungi Kenya, Turki, Arab Saudi, dan Tiongkok pada semester dua 2018 untuk menyelesaikan target misi dagang. Di Tiongkok, paviliun Indonesia bakal turut dalam China International Import Expo (CIIE) di Shanghai.
Pada 2017, Indonesia hanya melakukan 6 misi dagang ke Jepang, Afrika Selatan, Nigeria, Rusia, Mesir, dan Chile. Capaian transaksinya hanya US$ 3,6 miliar atau setara Rp 47,9 triliun.
Arlinda menyatakan, peningkatan transaksi yang pesat tahun ini karena pemerintah meminta pelaku usaha untuk melakukan pendekatan dengan calon pembeli di negara tujuan. Tujuannya untuk memberikan informasi produk yang bakal dijual. “Ketika bertemu, sudah ada kepastian transaksi,” ujarnya.
(Baca juga: Lebih Optimistis, BI Ramal Neraca Dagang Juni Surplus US$ 1 Miliar)
Sementara itu, tahun 2019, Arlinda menyebutkan ada 10 negara yang menjadi tujuan misi dagang Indonesia. Ke-10 adalah Mozambik, Kamerun, Ethiopia, Aljazair, Republik Ceko, Uzbekistan, Ekuador, Vietnam, Azerbaijan, dan Inggris.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), pada semester pertama 2018, ekspor nonmigas mencapai US$ 79,38 miliar, naik 9,66% dibandingkan periode yang sama 2017 dengan ekspor US$ 72,39 miliar. Untuk sektor migas, kenaikannya sebesar 10,03% dari US$ 80,0 miliar ke 88,02 miliar.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Novani Karin Saputri mengatakan, pasar ekspor nontradisional bisa menjadi solusi untuk mengatasi defisit neraca perdagangan. Tahun lalu, nilai ekspor Indonesia ke negara nontradisional relatif mengalami surplus, terutama Turki dan Bangladesh.
Neraca perdagangan Indonesia dengan dua negara tersebut mengalami kenaikan surplus masing-masing sejumlah 48,97% untuk Turki dan 43,44% untuk Bangladesh. Novani menjelaskan bahwa produk Indonesia diterima dengan baik oleh negara – negara non tradisional.
“Selain peningkatan kualitas produk Indonesia supaya daya saing makin kuat, pemetaan negara nontradisional penting dilakukan supaya pasar produk Indonesia semakin luas,” katanya.
CIPS meminta pemerintah memanfaatkan perjanjian dagang internasional untuk meningkatkan nilai ekspor. Sebab, selain mendapatkan pangsa pasar baru, Indonesia juga dapat memperoleh penghapusan atau pengurangan tarif impor beberapa produk yang tercantum dalam perundingan.