Pencabutan Insentif Bea Masuk Impor AS Berpotensi Merugikan Indonesia
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pencabutan insentif bea masuk impor (Generalized System of Preferences /GSP) oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) berpotensi merugikan perdagangan Indonesia dan menurunkan ekspor. Dengan adanya insentif tersebut, bea masuk ke AS menjadi lebih rendah karena ada pemangkasan pos tarif hingga 3.547 Harmonized System (HS).
Pemerintah berupaya bernegosiasi dan melobi AS untuk memenuhi uji kelayakan penerimaan fasilitas GSP oleh AS. Tujuannya, tak lain agar Indonesia bisa tetap mendapatkan fasilitas insentif GSP.
Darmin mengatakan, pemerintah akan bertolak ke Washington DC, AS, pada 23 Juli mendatang. "Karena rencana pencabutan insentuf tarif ini dampaknya terhadap ekspor cukup besar, hampir 50% untuk produk dapat fasilitas," katanya di Jakarta, Kamis (11/7) malam.
Dia pun menjelaskan pemerintah telah mengirimkan dokumen kepatuhan atau submisi sebagai bahan pembelaan ke pihak Amerika Serikat (AS) sampai batas waktu 17 Juli 2018. Namun, langkah tersebut juga akan disertai dengan negosiasi dengan perundingan terbuka. Tim yang tergabung dari Eselon I beberapa kementerian dan lembaga rencanan juga akan bertemu dengan pihak United State Trade Representative (USTR) di Singapura, pada 17 Juli 2018.
(Baca : Ancaman Pencabutan Potongan Bea Masuk Impor AS Tak Berdampak Besar)
Menurutnya, sejumlah dokumen berisi data, saran, dan penawaran serta pembelaan Indonesia terhadap kritik AS akan disampaikan pada pertemuan tersebut. Darmin juga menyebutkan ada perbedaan data defisit perdagangan AS dengan Indonesia. AS mencatat Indonesia surplus US$ 14 miliar, sedangkan catatan pemerintah surplusnya hampir US$ 9 miliar.
Defisit perdagangan ini menjadi salah satu alasan AS mereview ulang kebijakan pemberian insentif tarif bebas bea impor produk Indonesia . AS juga diketahui tengah mengevaluasi 124 komoidtas ekspor asal Indonesia yang menerima pemotongan bea masuk impor.
Dalam kegiatan reviewnya, teradapat dua hal yang menjadi USTR . Pertama, AS ingin memastikan Indonesia menyediakan akses pasar yang adil dan bisa dipertanggungjawabkan. Kedua, AS ingin Indonesia mengurangi praktik perusakan investasi perdagangan dan eliminasi hambatan perdagangan jasa.
(Baca : Jokowi Rapatkan Kabinetnya Antisipasi Ancaman Perang Dagang Trump)
Selain Indonesia, USTR juga mempermasalahkan fasilitas GSP terhadap India dan Kazakhztan.Indonesia diberikan batas waktu hingga 17 Juli 2018 untuk memberikan presentasi dalam pembelaan hak kelayakan GSP. Pada 19 Juni 2018 lalu juga telah diadakan ulasan dan rapat dengar pendapat.
“Indonesia telah mengimplementasikan hambatan yang luas sehingga memicu efek yang negatif untuk perdagangan AS,” bunyi dokumen USTR-2018-0007.
(Baca: Soal Ancaman Tarif, Indonesia Siap Lobi AS dan Tempuh Jalur Negosiasi)