Jalur Gemuk Poros Bitung-Gensan
KEMELUT di Bitung tak bisa dilepaskan dari General Santos. Dua kota di ujung Sulawesi Utara dan selatan Filipina itu sejak lama diduga menjadi poros tempat berbiak dan keluar-masuknya para pencoleng ikan.
Berada di lintas jalur Samudera Pasifik, Laut Sulawesi, dan Teluk Tomini, lokasi Bitung memang terbilang strategis. Dengan potensi ikan yang melimpah, perairan Bitung pun menjadi incaran para penangkap ikan, termasuk oleh kapal-kapal asing dan eks-asing, khususnya dari Vietnam dan Filipina.
Nilai ekspor tuna dari kawasan ini cukup signifikan. Pada 2010-2012, ekspor tuna Bitung dari menempati urutan ketiga di Indonesia, dengan kontribusi sebesar 14 persen. Posisi ini hanya lebih rendah dari DKI Jakarta (36 persen) dan Surabaya (37 persen).
Di luar negeri, komoditas perikanan di Bitung memang cukup diminati. Terbukti permintaan produk perikanan dari kota Bitung cukup tinggi, khususnya dari Jepang.
Adapun jenis tuna yang terbesar memberikan kontribusi produk perikanan di Bitung adalah cakalang (63 persen), disusul oleh sirip kuning (19 persen) dan tongkol (8 persen). Karena itulah, Bitung dikenal dengan julukan “Kota Cakalang”.
Dengan kekayaan perikanan melimpah itu, Kota Bitung dipersiapkan menjadi sentra perdagangan di Asia Pasifik. Selain sebagai pusat kegiatan ekspor, pelabuhan di Bitung dicanangkan sebagai pelabuhan singgah untuk komoditas di wilayah timur di Indonesia.
Pelabuhan ini juga telah ditetapkan sebagai Pelabuhan Hub Internasional melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2016.
Untuk merealisasikan itu, sebagai langkah awal Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulawesi Utara telah menandatangi kerjasama dengan Kadin Davao dan General Santos, Filipina. Melalui kerjasama ini produk-produk dari Bitung bisa keluar-masuk (ekspor-impor) tanpa melalui Jakarta ataupun Singapura. Perjanjian kerjasama juga diteken dengan Korea Selatan dan Cina pada 2013 dan 2015.
Walikota Bitung Maximiliaan J Lomban menyatakan, letak Bitung yang strategis di bibir Pasifik dan di poros alur logistik perdagangan luar negeri dari Papua maupun kawasan timur lainnya, menjadi salah satu daya tarik bagi investor untuk menanamkan uangnya di sana.
General Santos
Hanya berjarak sekitar 518 kilometer dari Bitung, General Santos (Gensan) City di Filipina juga merupakan salah satu ikon penting sentra tuna di Asia-Pasifik. Sama seperti halnya di Bitung, produk tuna juga menjadi andalan Gensan.
Itu sebabnya, kota yang terletak di provinsi Cotabato Selatan, Pulau Mindanao, ini pun berpredikat “Tuna Capital of the Phillipines”. Dan sama seperti halnya Bitung, kontribusi cakalang juga merupakan yang terbesar (76 persen), disusul oleh sirip kuning (10 persen). Ke kawasan inilah tuna hasil tangkapan dari perairan Bitung juga banyak mengalir.
Sebagai sentra industri perikanan, Gensan dilengkapi dengan pelabuhan ikan berfasilitas modern. Pelabuhan perikanan utama di Gensan bernama General Santos Fish Port Complex (GSFPC) seluas 11 hektare.
Pendaratan ikan di GSFPC pada 2016 tercatat mencapai sekitar 207 ribu metrik ton—terbesar dibanding pelabuhan lainnya di Filipina. Selain memiliki pelabuhan modern, Gensan adalah tempat beroperasinya mayoritas pabrik pengalengan ikan di Filipina.
Dari delapan pabrik pengalengan tuna di Filipina, enam di antaranya di Gensan. Dua sisanya di Zamboanga. Hasil pengolahan ikan di sana kemudian diekspor ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Eropa.
Pada 2016, sebesar 45 persen ikan di Filipina mendarat di Gensan dan mayoritas adalah tuna. Tangkapan ikan tuna Filipina yang mendarat di pelabuhan ini merupakan salah satu yang terbesar di Asia. Sebagai kota industri tuna, setiap tahunnya Gensan merayakan Festival Tuna yang digelar sejak 1998.
The Western and Central Pasific Fisheries Convention (WCPFC) pernah menyatakan, Gensan merupakan produsen tuna terbesar bagi Filipina. Lebih dari 167 ribu MT tangkapan mendarat di Gensan pada 2013.
Meski jumlah tangkapan tersebut tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, namun pelaku industri di sana mengakui bahwa produski tuna tersebut menurun dibanding dua dekade sebelumnya.
Tren penurunan khususnya terjadi sejak awal 2000-an. Anjloknya produksi ikan tersebut diperkirakan sebagai akibat dari meningkatnya suhu laut dan perubahan iklim, serta peraturan internasional mengenai penangkapan tuna yang semakin ketat.
Kabar lain menyebutkan, penurunan ini juga disebabkan oleh penangkapan secara berlebihan (over-fishing) dan rusaknya kondisi wilayah perikanan di sana, akibat beroperasinya kapal purse seine dalam jumlah besar dan menggunakan alat tangkap trawl. Selain oleh nelayan dan pengusaha lokal, serbuan datang dari para penangkap ikan asal Taiwan.
Walikota Gensan, Ronnel Rivera, mengakui bahwa produksi ikan di Gensan telah mencapai batas optimal dan tidak lagi mampu menghasilkan jumlah tangkapan seperti 10 tahun sebelumnya.
Karena itu, menurut Rivera, yang keluarganya juga terlibat dalam bisnis tuna melalui bendera RD Corporation, perusahaan perikanan Filipina harus memperluas operasi di luar pantai Filipina dan perbatasan, demi mencegah runtuhnya industri perikanan di sana.
Di tengah kondisi itulah, maka para pengusaha dan nelayan Filipina ditengarai berlomba-lomba masuk ke wilayah perairan Indonesia, khususnya Bitung, yang memang tak jauh darinya. Berbagai praktek illegal fishing pun merebak. Pratek ini secara masif terus dilakukan selama berpuluh tahun.
Dikhawatirkan eksploitasi berlebihan itu pada akhirnya akan membuat populasi beberapa jenis ikan di perairan Indonesia terancam punah. Di Laut Sulawesi, jenis ikan karang, cumi-cumi, pelagis besar, lobster, dan rajungan kini bahkan sudah dalam kondisi overfishing. Jika tak segera diatur, tuna pun terancam punah dalam satu-dua dekade mendatang.
Atas dasar itu, maka Menteri KKP Susi Pudjiastuti melalui Peraturan Menteri Nomor 57 tahun 2014, untuk sementara melarang kapal-kapal asing dan eks-asing menangkap ikan di perairan Indonesia. Alih muatan (transhipment) di tengah laut pun dilarang, karena diduga menjadi modus melarikan hasil tangkapan dari Laut Sulawesi ke Gensan.
Akibat kebijakan ini, industri perikanan di Mindanao dikabarkan termasuk yang paling terpukul. Seperti diberitakan media lokal Philstar.com (7/3/2016) sekitar 300 ribu karyawan industri manufaktur perikanan dan kelautan di wilayah itu terancam kehilangan pekerjaan.
Ini disebabkan oleh merosotnya pasokan ikan dari General Santos City, yang terimbas kebijakan baru di perairan Indonesia. Sebab, sudah menjadi rahasia umum di Gensan bahwa sekitar 50 persen hasil tangkapan ikan yang didaratkan di pelabuhan Filipina itu diperoleh dari laut Indonesia.
Direktur Eksekutif Philexport Region 12 (Mindanao) Ismael Salih Jr. juga pernah menyatakan, sekitar 100 perusahaan perikanan di sana mengalami perlambatan produksi dan terancam ditutup. Kabar lainnya, lebih dari setengah jumlah perusahaan perikanan besar bereputasi internasional di Gensan, bahkan telah menutup usahanya dan tidak beroperasi kembali.
Beberapa nama perusahaan besar itu, di antaranya RD Tuna Ventures, Inc.; San Andres Fishing Industries, Inc.; Santa Monica Inc.; Pamalario, Inc.; Starcky Ventures, Inc.; Virgo, Inc.; dan Kemball Inc.